Kalau tidak salah ingat, di tahun 2012 harian Kompas menurunkan liputan kuliner setiap daerah. Liputan berlangsung sekitar sepekan dan tayang setiap hari (ini juga kalau tidak salah ingat). Tetapi, intinya, feature semacam itu ada.
Nah, ketika tiba giliran kuliner masyarakat di Sulawesi Selatan, jurnalis Kompas menuliskan hasil wawancaranya dengan beberapa narasumber dengan heran. Saya coba tuliskan keherananannya itu (demi tuhan saya bertaruh menolak lupa), yang kira-kira, intinya begini:
Â
"...pukul delapan pagi, si A membeli bassang sebagai menu sarapan. Habis itu, ia duduk di teras rumahnya minum kopi dengan sajian kue seperi apang, putu cangkiri, dan pawa. Tak lama kemudian, ia menelepon temannya untuk makan coto di jalan Gagak, salah warung coto paling terkenal di Makassar..."
Rutinitas semacam itu bisa dibolak-balik. Kadang makan coto dulu, baru kemudian bassang, lalu beragam jenis kue. Sebenarnya tidak perlu heran juga sih, kan temanya soal kuliner. Tetapi, ketika semua jenis makanan itu dimakan, si narasumber merasa belum makan. Duaaarrrr!!!
Sebagai orang Bugis, saya perlu membenarkan keheranan jurnalis asal Jawa itu sekaligus mengamini perilaku narasumbernya yang sudah menjadi kelakukan komunal masyarakat di Sulawesi Selatan. Bagi kami, makan itu baru afdol kalau sudah makan nasi, tentu saja dilengkapi bejibun lauk pauk. Jadi, bassang yang mengandung karbohidrat itu karena berbahan jagung hanyalah cemilan. Terus, kue apang, putu cangkiri, pawa, dan coto itu apa. Ya, bagi kami, tetap cemilan juga.
Prolog di atas saya kira sudah cukup untuk menggambarkan menu buka puasa di meja makan kami. Asal kalian tahu saja, kami tidak mengenal apa itu takjil yang hanya berupa dua potong kue dengan teh kotak, misalnya. Puasa bagi kami adalah perjuangan. Seharian berpuasa harus ditebus dengan beragam menu. Tolong, jangan dianggap balas dendam dong, ini hanya sebatas menuntaskan rindu.
Supaya lebih kontekstual, realistis, dan menghindari sesat pikir dalam menyimpulkan. Saya ambil contoh di kampung saya yang masih masuk wilayah Sulawesi Selatan. Tata kelola menyiapkan sajian buka puasa yang banyaknya serasa mau hajatan atau membuka warung makan. Buka puasa kemarin saja, selain pisang ijo, jalang kote rasa keju, pawa, donat, es buah, teh, kopi. Selanjutnya ada konro, sop saudara, atau coto. Ikan bandeng bakar, sayur tiga macam, dan nasi.
Apakah semua menu itu langsung dimakan untuk membatalkan puasa. Persisnya tidak seperti itu juga. Sebuas-buasnya kami makan, kami juga perlu mengikuti prosedur berdasarkan petuah ahli gizi.
Menu pembuka dimulai dulu dengan yang ringan-ringan. Dua gelas es buah dan sepiring pisang ijo. Selanjutnya ada selingan minum teh atau kopi. Namun, ada juga yang langsung memulainya dengan yang marxis-marxis. Pemahaman kami dengan parafrasa: berbukalah dengan yang marxis marxis bukan yang manis-manis ya.
Kami meyakini yang marxis-marxis itu berat. Dilan saja tak bakal sanggup memikulnya. Jadi, yang berpaham seperti ini buka puasanya adalah makanan kelas berat seperti konro atau ikan bakar dengan dua piring nasi. Tetapi, semua akan berbuka dengan yang marxis marxis bila menghadiri undangan bukber.