Mohon tunggu...
F Daus AR
F Daus AR Mohon Tunggu... Freelancer - Narablog

Penggerutu

Selanjutnya

Tutup

Humor

Betapa Beragamnya Menu Buka Puasa di Kampung Kami

16 Mei 2020   09:09 Diperbarui: 16 Mei 2020   09:06 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: /akurat.co

Soal bukber itu sendiri merupakan perwujudan dari perjuangan dan ajang konsolidasi. Di momen inilah bisa disaksikan bagaimana massa berpaham marxis berkumpul membicarakan masa depan mereka dan berbagi info kalau Ramadan kali ada berapa hajatan bukber. Biasanya undangan bukber diumumkan sehari sebelumnya melalui pelantang suara di masjid. Marbot akan menyerukan: wahai kaum marxis se kampung. Bersatulah!. Besok ada undangan bukber di rumah kamerad Haji Syamsuddin.

Saban tahun di kampung kami, selalu saja ada rumah tangga yang menggelar bukber. Hal ini juga menjadi ukuran indeks munculnya orang kaya baru. Jika misalnya, Ramadan tahun lalu cuma empat rumah tangga menggelar bukber dan Ramadan kali ini bertambah jadi lima atau tujuh, itu artinya di kampung kami banyak perantau sukses yang mudik.

Jika berkurang maka seenak perut menyimpulkan kalau Ramadan tahun sebelumnya lailatul qadar tidak turun di kampung kami. Karena pandemi Covid-19, Ramadan kali ini dipastikan bukber ditiadakan, hal inilah yang membuat mereka yang berpaham marxis meradang.

Oh iya, di kampung kami juga menjalankan solidaritas sosial dengan berbagi menu buka puasa. Upamanya begini, kalau ada tetangga datang membagi es buah, maka kami membalasnya dengan kue pawa atau kue lain yang tersedia. Walau kue itu kami yakini juga ada di meja makannya sebagaimana tetangga itu percaya kalau kami juga membuat es buah.

Lah, kalau menunya sama, inti berbaginya di mana. Di situlah letak misterinya dan salah satu alasan mengapa Ramadan begitu dirindukan dan menangisinya menjelang berakhir. Momen sedih ini bukan hanya milik para uztas yang bakal kehabisan kontrak ceramah keliling atau penjual cendol musiman di pinggir jalan. Bukan, sama sekali bukan. Kesedihan membuncah bagi saya, karena harus menunggu setahun lagi menikmati parade kuliner. Kalau saya belum modar ya.

Demi Tuhan, perilaku berbuka di kampung kami yang seperti itu bukan bentuk kesombongan, kalau dikatakan naf mungkin saja. Tetapi begitulah adanya, saya juga heran mengapa bisa demikian. Bukankah seharusnya bulan puasa menjadi ruang introkspeksi diri dalam segala hal.

Harusnya lebih banyak menjalankan segala jenis ibadah dan sedikit makan. Eh, yang terjadi justru, bukannya mengurangi biaya hidup malah semakin bertambah. Nampaknya, memang, Ramadan di kampung kami lebih dari ibadah, tetapi sudah menjadi festival kuliner. Begitulah, Ferguso! Kalau kau mau tahu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun