Mohon tunggu...
F Daus AR
F Daus AR Mohon Tunggu... Freelancer - Narablog

Penggerutu

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Buku Puisi yang Membunuh 50.000 Kata di Rak Buku

27 Januari 2020   06:20 Diperbarui: 27 Januari 2020   06:27 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rentang waktu lima tahun bukanlah petunjuk jedah membaca buku puisi. Persisnya saya tidak tahu, mengapa puisi saya butuhkan dan melupakannya seketika. Di tahun 2009 barulah kembali mendekap buku puisi: Nikah Ilalang (IndonesiaTera: 2003. Cet. II).

Sewaktu menujukkan ke seorang kawan diskusi di tahun 2004 mengenai buku puisi Isyarat Kuntowijoyo, ia malah nyengir dan menggaruk kepalanya. "Orang menulis puisi sepertinya mudah ya." Cetusnya seketika.

Benarkah menulis puisi itu mudah? Saya sangsi dengan asumsi itu. Penyebab utama mengapa puisi tidak peroleh tempat yang memadai di otak para pembaca seperti kawan saya itu akibat pola pendidikan di sekolah. Tidak bisa tidak. Di sekolah orang pertama kali mengenal apa itu puisi. Sialnya, puisi yang dikenalkan tentu saja bukan puisi WS Rendra.

Kawan saya itu hanya satu sampel. Kita termasuk korban dari metode bagaimana selera dibentuk di sekolah. Tentu bukan hanya puisi, garis besarnya adalah pengenalan kesusastraan. Perlahan saya baru menyadari hegemoni ini usai membaca Prahara Budaya (Mizan: 1995. Cet. IV) susunan DS Moeljanto dan Taufiq Ismail dan buku yang menentang buku itu serta pendapat sejumlah tokoh melalui artikel di koran.

Puisi sebagai produk sastra bukanlah karya tulis hiburan. Kedudukannya sama dengan produksi intelektual yang lain. Di buku Kuasa Kata (Mata Bangsa: 2000) karya Benedict Anderson memperlakukan puisi setara dengan karya tulis yang lain sebagai referensi.

Dorothea Rosa Herliany di buku puisi Nikah Ilalang itu menunjukkan hal lain dari buku puisi sebelumnya (yang telah saya baca). Kehidupan digarap sedemikian subtil yang menjadi ruang membongkar perilaku manusia di dalamnya.

Tentu kita bisa mencium kemarahan dengan mudah dari puisi Wiji Thukul, misalnya, Dorothea juga mengusungnya dengan cara lebih metafor. Delik ini bisa ditelusuri lebih jauh dengan membaca pra kondisi dan sitausi sosial sang penyair. Namun, di sini, saya tidak sedang membahas hal itu karena membutuhkan referensi tambahan.

Di buku puisi ini terdapat epilog Afrizal Malna yang menjelaskan duduk perkara Dorothea sebagai penyair berkelamin perempuan dan puisinya sebagai suara.

_

Nampaknya memang, puisi merupakan karya tulis yang tidak berbentuk tunggal. Puisi adalah petak tanah yang bebas dibanguni rumah oleh pemiliknya berarsitektur yang digemari. Di Makassar, Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR). Lembaga ini lebih dari LSM. Mereka juga menerbitkan buku, salah satunya buku puisi bertajuk Republik Korupsi (LAPAR: 2005).

Suradi Yasil penggubah sajak panjang di buku puisi itu tidak menjuduli larik, temanya bersumber pada judul saja dan selanjutnya hanya ditandai nomor tiap larik dengan rujukan informasi soal berita korupsi yang tayang di media atau opini soal korupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun