Nama Arswendo Atmowiloto telat saya baca, secuil sepak terjangnya mengenai survei yang diadakan media tempatnya bekerja, Monitor yang menempatkan Nabi Muhammad bukan di urutan pertama berbuah buih itu saya baca di liputan majalah bekas. (lupa nama majalahnya, kalau tidak salah antara Tempo atau Gatra).
Di sepanjang hari-hari membaca karya sastra, khususnya cerpen, Arswendo saya lewatkan. Pernah terbersit ingin membeli novel Blakanis namun terlupa. Di sela itu, saya terkadang menjumpai cerpennya di Kompas dan menurut saya, cara berkisahnya biasa saja. Datar. Tidak ada kejutan.
Mungkin saja, ini dugaan saya, Arswendo terlampau menggampangkan apa itu mengarang. Ya, sebatas membedakan teknik penulisan puisi atau esai, misalnya. Asumsi lain, Arswendo sudah melangkahi teknik yang seperti itu, ia tidak butuh pembuktian apa lagi dalam menuliskan pikirannya ke medium cerpen. Kisahnya mengalir saja berdasarkan pengalamannya mengamati situasi tanpa perlu membebaninya dengan situasi politik yang melatari peristiwa.
Jika pernah menonton serial sinetron Keluarga Cemara dan film dengan judul yang sama yang rilis tahun 2019 lalu, kisah itu merujuk pada novel, juga judul yang sama karya Arswendo. Situasi yang dihadapi Abah dengan protes pekerja melalui proyek yang digarapnya akibat keterlambatan gaji begitu sederhana dan tidak digali dengan situasi sosial politik.
Abah menerimanya begitu saja dan emoh menelusurinya lebih jauh. Pilihannya menghindari masalah itu dan menyingkir ke desa memulai kehidupan baru. Kira-kira seperti itulah tema besar cerpen Arswendo di kumcer Senja yang Paling Tidak Menarik (Tera: 2006. Cet. Kedua). 18 cerpen di antologi ini disunting oleh Dorothea Rosa Herliany.
Selain cerpen Senja yang Paling Tidak Menarik, Â saya memilih cerpen Kaos Biru Lengan Panjang yang menunjukkan kekonsistenan Arswendo pada ulasan pengamatannya menyaksikan situasi sosial ke dalam cerita.
_
Cerpenis Indonesia yang kini, menurut saya, hilang dari hiruk pikuk pembacaan generasi milenial yakni Sori Siregar, seorang kawan pernah nyeletuk ketika membaca cerpen Sori Siregar di Kompas yang dianggapnya penulis pemula. Penilaiannya itu bukan berdasar muatan cerpen tetapi nama itu memang baru diketahui.
Jejak kepenulisan pengarang kelahiran Medan tahun 1939 ini sudah lama, namanya sudah dimuat di sejumlah media cetak di dekade 60 an dan memasuki medio 2000 an karyanya masih kerap muncul di Kompas.
Kumcer berukuran mungilnya bertajuk Kisah Abrukuwah diterbitkan Gramedia di tahun 2003 yang memuat sepuluh cerpennya yang sebelumnya tayang di beberapa media, termasuk cerpen Gobzadeh yang dimuat di Kompas di tahun 2001.
Cerita gubahan Sori sedikitnya memiliki kemiripan dengan karya Putu Wijaya, mungkin karena pengarang ini dulunya pernah aktif selaku jurnalis. Sejak judul, Sori sudah membuat penasaran pembacanya, Kisah Abrukuwah dan Gobzadeh adalah dua cerpen dengan judul beribu tafsir jika tidak membacanya.
Melengkapi bagian kelima ini, sebenarnya ada nama Indra Tranggono, tetapi kumcernya, Sang Terdakwa itu sudah saya serahkan ke komunitas baca di kota saya bersama puluhan buku yang lain. Jadi tidak sempat membaca ulang guna memilih sejumlah cerpen, namun cerpen Sang Terdakwa yang dijadikan judul antologi menarik dan menawarkan perspektif baru.
Arswendo, Sori, dan Indra tiga cerpenis dari zaman berbeda. Sori lebih senior ketimbang Arswendo dan, Indra baru lahir ketika Sori dan Arswendo sudah melekat di benak pembaca sastra.
Kini, mereka (sebelum Arswendo wafat tahu 2019 lalu), karya mereka masih sering muncul di media cetak, utamanya di Kompas. Jejak panjang mereka bersanding di lembaran serupa dengan cerpenis yang baru memulai membangun tapak.
_
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H