"Pilkada kali ini rasa pilgub ya," seloroh kawan yang membonceng di atas sepeda motor di sore yang mendung pekan terakhir tahun 2019 lalu. Kami berdua menempuh perjalanan dari Makassar menuju Pangkep.
Memasuki wilayah Pangkep, sontak ia mengatakan itu setelah kami melintasi spanduk di tepi jalan. Salah satu bakal calon yang akan maju di pilkada Maros memajang senyumnya di spanduk berukuran besar.
Mungkin, sebab itulah kawan tadi meresponsnya. Seorang yang akan maju di pilkada di kabupaten lain sampai memasang spanduknya di wilayah kabupaten tetangga. Seolah warga kabupaten tetangga punyak hak pilih di kabupaten ia maju nantinya.
Entah, pemasangan spanduk itu sengaja dipasang di wilayah kabupaten tetangga dengan maksud lain, ataukah, tim pemenangan yang bertugas memasang spanduk bakal calon bupati itu tidak memahami aturan main dan sasaran pemilih.
Jika ada maksud lain. Katakanlah sebagai strategi mengenalkan sosok kepada warga tetangga. Kira-kira, hal apa yang ingin dicapai dengan metode itu. Dan, bukankah itu sebentuk pemborosan mengingat wilayah kabupaten Maros lumayan luas. Mengapa spanduk itu tidak dipasang di lokus terjauh wilayah Maros, misalnya. Jika tim tidak memahami aturan. Nah, persis di sinilah pilkada hanya berakhir sebagai lelucon.
Di tahun 2020 ini, terdapat 12 kabupaten/kota yang bakal menggelar pilkada. Secara teknis, penyelenggara (KPU dan Bawaslu masing-masing wilayah sudah siap). Bakal calon sejak jauh hari telah memasang starategi awal mengampanyekan dirinya dengan tagline klise.
Mereka membicarakan kisah berulang tentang upaya memajukan dan meningkatkan kesejahteraan warga. Benarkah mereka, para tokoh yang nantinya dipilih warga memimpin bakal membangun kota agar menjadi wahana bersama semua warga.
Mari kita periksa keberpihakan itu melalui pilkada sebelumnya dan akan berlangsung melalui kisah yang ditawarkan. Pada pilkada sebelumnya di tahun 2015, khusunya di Pangkep, petahana, Syamsuddin Hamid Batara kembali melenggang.
Kebijakan merombak fasilitas umum tidak dibarengi dengan perawatan. Ruang terbuka hijau (RTH), Taman Musafir, bisa diajukan sebagai contoh, di taman ini sejumlah fasilitas bermain untuk anak seiring waktu rusak kemudian dihilangkan.
Asumsi demikian tentu saja bisa dibaca selaku bentuk kebijakan yang memotong akses kelas dan memberi jalan pada kelas lain. Yang terjadi, bisa berdampak pada kontra kelas perebutan ruang. Siklus ekonomi yang kini mengitari Taman Musafir dengan beragamnya penjaja makanan menjadi kunci pembuka ekses kelas itu.
Pertama, fungsi RTH sebagai akses bersama yang gratis bagi warga perlahan berubah menjadi transaksi ekonomi. Ini mengingatkan pada dampak revitalisasi Karebosi dan pantai Losari. Kedua, pemerintah yang semula memberikan akses ekonomi akan membaca perubahan tata laku itu dengan menerbitkan fungsi RTH. Tentu, dengan memakai logika perputaran ekonomi.