Menulislah.Â
Siapa pun kita yang belajar, pastilah diawali dengan meniru, mencontoh atau bahasa santunnya 'berguru'. Artinya berpanduan pada yang lebih pintar, atau yang telah melakukan sesuatu berkaitan tersebut lebih dahulu.
Jika siswa di sekolah belajar dari bagaimana membaca dan menulis seperti yang diajarkan oleh guru. Maka di kehidupan yang nyata ini kita belajar dari para profesional. Mereka profesional dan diakui, maka layaklah 'berguru' pada mereka.
Seketika diri ini tercenung mencermati tulisan-tulisan yang muatannya sangat menggugah hati. Atau orang lebih menyebutnya 'menginspirasi'. Nama penulis serta media yang muat tulisan tersebut sesungguhnya sudah tidak pernah diragukan khalayak. Namun ketika beberapa kata di antaranya tertulis 'disekolah, diatas, dikantor' dan seterusnya, pikiran ini berusaha meyakini akan proses belajar yang dimulai sejak pendidikan dasar. Bahwa kata yang menunjukkan tempat mendapat kata depan di. Seperti jika kita ingin menyatakan 'buku adik tertinggal di sekolah' atau jika bermaksud menyatakan letak buku di atas meja.
Namun saat ini sejumlah media massa, media publikasi yang menayangkan kalimat-kalimat bermakna, atau para pewarta dan penulis yang sudah tidak asing lagi namanya, beberapa diantaranya kurang mencermati hal tersebut. Apakah hal tersebut hanya urusan redaksi serta editor sematakah? Atau tatanan bahasa kita telah berubah? Â Â
Saya hanyalah seorang pendidik yang mencoba bertanggungjawab untuk membimbing peserta didik berproses dan memberi pemahaman kekayaan suatu bahasa. Ketika saya menyadari di atas langit ada langit, tentunya saya pun harus mampu memberi argumentasi ketika mereka menunjukkan beberapa penulis profesional menulis tak sesuai dengan PUEBI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H