Puluhan tahun yang lalu, saat penulis masih mengenyam pendidikan dasar bahwa aktivitas yang disebut 'upacara' seakan sarat dengan makna dan tanggung jawab. Berbaris rapi, sikap sempurna, mulai dari pandangan mata hingga postur dan gerak tubuh. Modal peraturan baris-berbaris (yang dahulu disebut PBB) menjadi hal mendasar yang menentukan suatu upacara akan berlangsung rapi, teratur dan baik atau tidak.
Sebelum upacara dimulai, selalu ada persiapan 'matang', oleh petugas upacara. Mulai dari pembawa acara, petugas bendera, pemimpin upacara, petugas pembaca teks, pemimpin/konduktor saat bernyanyi, petugas pembaca doa serta seluruh petugas / operator alat-alat elektronika yang diperlukan. Upacara akan terasa hikmad, jika semua tertib, rapi dan sigap.
Waktu berjalan. Setelah puluhan tahun ketika penulis mengikuti suatu upacara di suatu instansi. Walau pemimpin upacara menggunakan mikrofon menyampaikan aba-aba menyiapkan barisan dengan lantang, tetap saja barisan yang kira-kira berjumlah 700an orang dewasa yang diyakini 'pasti' berpendidikan tinggi ini tidak terlihat rapi karena masing-masing tak berniat berdiri tegak (sebab ada yang menyandang tas, ada yang sibuk memegang handphone, ada yang terus dan tetap ngobrol, bahkan saat hujan rintik payung menjadi hiasan yang terlihat dipegang oleh peserta upacara). Bahkan tidak sedikit yang terlambat datang langsung masuk dalam 'barisan' yang sesungguhnya juga tak terlihat sebagai barisan.
Hal lain yang memperihatinkan adalah, sejumlah atau sekelompok para orang dewasa yang terbilang muda dengan pakaian seragam diyakini pasti sudah berbekal disiplin dan aturan PBB serta upacara yang lebih baik, ternyata juga tak terlihat rapi. Mereka menoleh ke kanan dan ke kiri. postur tubuh tidak selayaknya sikap sempurna, dan seterusnya.
Jika muncul pernyataan, seharusnya semua orang yang mengikuti upacara tersebut pasti pernah mendapatkan pendidikan dasar seperti penulis. Lalu diikuti dengan pertanyaan, mengapa insitusi sebesar ini tak mampu menunjukkah performa ideal dari suatu konsep yang disebut UPACARA?
Dengungngan pembentukan karakter, mengasah ketrampilan dan softskill, seharusnya menjadi tanggungjawab institusi ini. Lalu, melalui upacara untuk memperingati hari besar negara pun, sikap dan perilaku ini masih dipertanyakan. Di mata rantai bagianmanakah yang seharusnya 'diputus' untuk mengembalikan hakikat upacara ini?
*renungan ini menjadi akankah mendapat jawab? Ketika kita secara ucapan dan posisi fisik memperingati kemerdekaan negara tercinta Republik Indonesia ke-68. Seorang bertanya pada penulis ketika saat upacara, posisi badan penulis berdiri dengan sikap sempurna (berusaha dengan pandangan lurus ke depan, tangan dan kaki lurus) "berdirinya santai saja, nggak usah begitu (tegak) sekali", penulis tak berniat menanggapi sampai upacara selesai baru dijawab. "Masih berasa saat pramuka dahulu, begitulah yang sudah menjadi kebiasaan". Lalu pembicaraan pun menjadi satu diskusi. Faktanya menjadi suatu keanehan ketika sikap sempurna ini sudah melekat. Sementara 'arus' yang berjalan seakan bukan memiliki acuan demikian lagi.
Diantara jutaan rakyat Indonesia, semoga jiwa patriotisme masih bersemayam dan tumbuh subur pada banyak generasi. Bilakah kita menjadi 'pandu bagi ibuku', jika upacara saja tak mampu menunjukkah sikap sempurna.(di, 1908131107)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H