Beberapa waktu lalu, sempat ramai soal RUU Permusikan yang menuai kontroversi. Banyak sekali pihak yang menolak RUU tersebut. Selain membatasi kebebasan berekspresi, terdapat pula pasal karet di dalamnya (Koalisi Musisi memperdebatkan Pasal 5 yang dianggap sebagai pasal karet). RUU Permusikan juga dianggap tidak esensial, ia mengatur hal yang seharusnya tidak perlu diatur.
Belum sempat RUU itu disahkan, baru-baru ini, tepatnya kemarin (27/2), KPID Jawa Barat menetapkan sebuah regulasi yang mengakibatkan 17 lagu Barat masuk ke dalam kategori lagu "dewasa" dan hanya boleh diputar mulai pukul 22.00 hingga 03.00. Daftar lagu tersebut tertuang dalam Lampiran Surat Edaran No. 480/215/IS/KPID-JABAR/II/2019.
Tentu saja, khalayak ramai-ramai memperbincangkan keputusan tersebut. Tidak hanya media Indonesia yang ramai merespon, media ternama luar negeri seperti Independent, Times, dan The Guardian juga turut menyebarluaskan regulasi baru ini. Bahkan, Bruno Mars yang salah satu lagunya termuat dalam kategori "dewasa" versi KPID Jabar pun meresponnya dengan bercuit,
"Untuk Indonesia, aku memberi kalian beberapa lagu yang sehat, "Nothin' on You", "Just the Way You Are", dan "Treasure". Jangan menyerangku dengan penyimpangan seksual itu."
Sebenarnya, lagu itu apa, sih?
Sejatinya, lagu adalah sama dengan karya seni lain. Ia merupakan perwujudan ekspresi sang penulis atau penyanyi yang dituangkan dalam kata-kata berbentuk lirik yang dilengkapi dengan nada-nada. Merupakan suatu kebebasan untuk menciptakan lagu, mulai dari lirik hingga nadanya---asal tidak menjiplak karya orang lain---dan tentu saja, merupakan sebuah kebebasan pula untuk mendengarkan lagu alias hasil karya orang lain.
Tidak ada yang salah dari mengekspresikan diri lewat lagu. Yang namanya ekspresi diri, bisa lewat mana saja, kan? Tentu saja, ekspresi berasal dari individu masing-masing. Biasanya, faktor utama yang menjadi main theme dalam sebuah lagu merupakan perasaan sang penulis, budaya yang berkembang di masyarakat tempat penulis tinggal atau menetap, atau pemikiran dan tanggapan penulis mengenai suatu hal.
Jika kita perhatikan, saat ini memang marak lagu Barat yang liriknya sangat sesuai dengan budaya mereka terutama kebebasan. Berhubung kebebasan ini mencakup segala aspek, maka kehidupan seksual juga dilandasi kebebasan. Alhasil, beberapa lirik lagu yang tercipta juga mengandung unsur seksual.
Persis dengan di negara kita. Berapa banyak lagu yang mengulik soal cinta? Banyak, karena masyarakat kita begitu terkagum-kagum dengan cinta. Berapa banyak lagu religi tentang Tuhan dan pembelajaran agama? Pun banyak, masyarakat Indonesia, kan, religius semua. Ingat lagu "Sayur Kol" yang sempat viral karena dinyanyikan seorang bocah Medan? Ada orang yang menciptakannya, berarti ada budaya yang melandasinya.
Lalu, salahnya di mana?
Jika mengacu pada regulasi yang dikeluarkan KPID Jabar, maka bisa dikatakan bahwa kesalahan lagu-lagu "dewasa" itu ada pada liriknya yang "too pornographic". Para pembuat kebijakan beranggapan bahwa lirik yang terlalu vulgar itu bisa memicu degradasi moral di kalangan masyarakat, khususnya mereka yang di bawah umur.
Efektifkah?
Tentu tidak. Berikut alasannya.
- Membungkam kebebasan dalam berkarya.
Semua orang bebas berkarya. Tapi dengan adanya aturan ini, nampaknya masyarakat akan berpikir ulang untuk berkarya. Akan muncul banyak, "Bagaimana ketika karya saya tidak bisa diapresiasi para penggemar karena dilarang pembuat kebijakan?". Hasilnya, karya yang keluar hanya sebatas yang aman-aman saja. Jika begitu, bukannya kita hanya mengulang zaman kegelapannya abad pertengahan? Maka, tidak ada yang berkembang dan dapat dikembangkan, dong?
- Alasan "mengandung unsur seks bebas" tidak urgent.
Baik. Sekarang, lagu-lagu itu dianggap mengandung unsur seks bebas. Kemudian ketujuh belas lagu tersebut diatur sedemikian rupa hingga tidak boleh diputar kecuali pada jam 22.00---03.00. Jika sudah begitu, yakinkah seks bebas akan musnah atau stidaknya berkurang? Tidak juga.
Ada banyak sekali faktor yang mempengaruhi seks bebas, dan lagu bukanlah faktor terbesarnya---bahkan mungkin tidak termasuk dalam kategori faktor yang mempengaruhinya. Herlangga (2013) pada thesis diplomanya yang berjudul "Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Seks Bebas di Kalangan Remaja (Studi Kasus di Desa Kasomalang Kulon Kecamatan Kasomalang Kabupaten Subang)", menyatakan bahwa faktor penyebab terjadinya seks bebas di kalangan remaja antara lain adalah faktor lingkungan, keluarga, ekonomi dan teknologi. Faktor utamanya sendiri berasal dari lingkungan karena para remaja terhasut oleh temannya sehingga mereka mudah terjerumus ke dalam pergaulan bebas.
Tapi, lagu-lagu itu juga merupakan salah satu faktornya!
Baik. Lalu bagaimana dengan kebanyakan lagu dangdut yang juga memiliki lirik vulgar? Mengapa tidak kena banned juga? Bukankah justru lagu dengan lirik berbahasa Indonesia jauh lebih mudah dipahami oleh anak-anak ketimbang lagu-lagu berbahasa asing?
- Indonesia akan dianggap sebagai negara "konservatif" dan berpemikiran tertutup.
Dampak terakhir ini mungkin sangat luas dan tidak terduga. Tapi, ya, pasti beberapa orang di dunia modern ini pasti sedang tak habis pikir tentang betapa konservatifnya salah satu negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara ini. Akan ada beberapa negara yang menyangsikan keterpercayaan Indonesia dalam membebaskan industri musik untuk berkembang ketika pola pikir tertutup---yang tercermin dari regulasi KPID Jabar menyangkut 17 lagu yang dilarang diputar kecuali pada jam dewasa---ini mendunia. Akibatnya bisa sangat jauh, hingga berpotensi mengurangi kepercayaan negara lain untuk bekerjasama, meski peluangnya sangat kecil.
Apa solusi yang tepat untuk mengatasi degradasi moral terutama seks bebas?
Sesuai lansiran huffingtonpost yang terdapat dalam fimela.com, Departemen Kesehatan Umum di California menyatakan adanya penurunan sebesar 60 persen pada angka remaja melahirkan di sana. Pada tahun 1991 terdapat 70.9 kelahiran pada usia remaja 15-19 tahun. Sedang pada tahun 2011 angkanya menurun menjadi 28 kelahiran saja. Tahukah kalian apa yang melatarbelakangi turunnya angka tersebut secara signifikan?
Jawabannya, ada banyak faktor, namun yang paling besar pengaruhnya adalah pendidikan seksual. Pendidikan seksual dianggap sangat akurat secara medis dan komprehensif pengajarannya sehingga banyak sekali membantu memberi informasi yang tepat disesuaikan dengan kematangan usia si penerima informasi. Dengan lancarnya serah-terima informasi yang aktual tentang seks, para remaja akan memilih pilihan yang bertanggungjawab untuk diri mereka sendiri.
Jadi, jika ditanya lagi, perlukah pembatasan lagu? Jawabannya hanya satu: tidak. Selain tidak efektif untuk mengurangi angka degradasi moral, dalam hal ini: seks bebas, pembatasan lagu ini juga justru berpotensi membawa dampak negatif seperti mengurangi kebebasan dalam berkarya, dan menunjukkan pola pikir tertutup yang mengatasnamakan bangsa.
Yang benar itu bukan dibatasi, tapi diedukasi.
BAÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H