[caption id="attachment_267777" align="alignright" width="300" caption="Pemandangan mempesona Gua Pindul //Foto: KR Online"] [/caption]
L
ima tahun lalu Gua Pindul belum tampak “seksi”. Salah satu dari 12 gua karst yang terletak di Desa Bejiharjo, Karangmojo, Gunungkidul, itu memang sudah lama menjadi perhatian para "Antareja" penembus bumi, namun belum dikenal di kalangan pelancong.Cerita berubah total setelah Gua Pindul nan eksostis itu dijadikan tempat wisata alam cavetubing, yakni menembus kedalaman gua dengan mengapung di atas air, dengan dipelopori para mahasiswa pecinta alam.
ADA GULA ADA SEMUT Gua Pindul sesungguhnya merupakan mulut sungai bawah tanah yang menembus bukit sejauh 350-an meter, lalu keluar menyatu dengan Kali Oya. Sensasi rafting di dalam gua selama 45 menit, dilanjutkan dengan menyusuri sungai yang jernih itu, konon, sungguhlah memesona. Selain semuanya masih alami, indoor Gua Pindul sangat dekoratif dengan stalagtit, stalagmit dan pertemuan keduanya yang disebut kolom, plus aneka eksotisme alami lain yang sulit dicari tandingnya.
Puji-pujian terhadap gua itu mengundang pelancong datang dalam jumlah melimpah, yang sudah dan masih akan menjanjikan rupiah melebihi, misalnya, Gua Cerme di Bantul yang menembus bukit sampai tiga kilometer itu. Pengunjung Gua Pindul pun meningkat menembus angka 128 ribu orang, meningkat 2,5 kali lipat dibanding tahun sebelumnya (KR-Online, 9/6/2013). Maka tak ayal lagi: semut-semut pun berusaha menguasai gula!
Seolah tanpa memerhitungkan konsekuensi jangka panjang, warga malah saling bertikai sesamanya. Masing-masing rupanya mengincar pendapatan relatif besar seraya disemangati olehkeinginan menang sendiri. Jika semula ada dua kelompok pengelola gua, kini setidaknya kita menemukan empat kelompok yang mengklaim punya hak terhadap Gua Pindul. Gua sempat disegel salah satu pihak untuk kemudian dijebol pihak lain. Konflik pun kian meruncing lantaran masing-masing mengaku paling berhak mengelola gua di Dusun Gelaran itu. Pamong, Polisi, Pemkab, DPRD dan LSM pun terlibat di tengah pusaran.
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X khawatir melihat potensi kerusakan yang kemungkinan akan terjadi. Beliau menyerukan para pihak dimediasi. "Jika Bupati tidak bisa memediasi, cara lainnya adalah dengan menyelesaikannya secara hukum," ujar Gubenur (KR, 1/3).
SOLUSI LEWAT MEDIASI
Sampai di sini semua pihak mestinya mundur selangkah. Penyelesaian secara hukum akan menyisakan cedera psiko-sosial yang harus ditanggung semua pihak, sejalan dengan karakteristiknya sebagai medium penuntas konflik yang zakelijk, rigid dan impersonal. Bukan tanpa alasan Gubernur mendorong diambil langkah-langkah mediasi untuk menyelesaikan sengketa Gua Pindul.
Mengapa mediasi? Mediasi adalah proses musyawarah-mufakat secara terbatas, bisa tertutup, terkendali, dengan difasilitasi oleh mediator yang independen, adil, tidak memihak (imparsial). Mediasi akan menghadapkan para pihak secara lebih manusiawi, karena membuka ruang musyawarah seluas-luasnya, sebelum dibuhul dengan meresmikan kesepakatan yang saling diterima.
Sesuai Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) 1/2008, segala sengketa masyarakat diupayakandiselesaikan melalui mediasi. Sedikit perkecualian antara lain adalah perkarayangdiselesaikanmelaluiprosedurPengadilanNiaga atauPengadilanHubunganIndustrial (Pasal 4). Di satu sisi proses mediasi akan mengurangi penumpukkan perkara di Pengadilan. Dalam penyelesaian sengketa seperti ini hubungan pihak-pihak yang bersengketa dijaga untuk tetap baik. Mediasi mendorong semuanya untuk tidak menafikan namun tetap menghargai kehadiran pihak lain.
Pada proses ini dibutuhkan tenaga professional, yaitu mediator, yang cakap memetakan sengketa, bernegosiasi, berkomunikasi, serta menyusun Nota Perdamaian. Mediator di sini hendaknya yang tidak punya kepentingan dalam sengketa itu. Syukur jika ia mediator bersertifikat yang disahkan Mahkamah Agung, agar kesepakatan bersama itu kelak dapat ditetapkan sebagai Nota Perdamaian yang mengikat secara hukum. Masalahnya, mediator ini harus dicari sosok yang kehadirannya bisa diterima para pihak yang bersengketa.
Dalam kasus Gua Pindul, mediator dapat diibaratkan sebagai Resi Bisma dalam kisah pewayangan, yang berusaha merukunkan Pandawa dan Kurawa. Tentu saja kita mengharapkan "Resi Bisma" yang karyanya berhasil; sehingga tidak sampai terjadi Perang Baratayuda, yang ujung-ujungnya adalah kerusakan dan kerugian bagi semuanya. ●
*Mediator Komunitas; Pendiri & Partner Jogja Mediation Center; Komisioner Lembaga Ombudsman Swasta (LOS) DIY 2008-2011
Catatan: Tulisan saya ini pernah dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), 20 Juni 2013, hlm. 12.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H