Mohon tunggu...
Farid B. Siswantoro
Farid B. Siswantoro Mohon Tunggu... profesional -

Seorang kelana yang mengidamkan masyarakat berkeadaban-berkemajuan...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pejabat Publik dan Perilaku Tidak Etis: Kasus Seleksi KPI Pusat

20 Juli 2013   19:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:16 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KETIKA terjadi musibah terkait pelayanan publik yang menelan korban, sering muncul seruan agar pejabat terkait mundur dari jabatannya. Secara sederhana itu menandakan bahwa orang-orang mengharap adanya tokoh mulia penuh tanggung-jawab di tengah-tengah kehidupan yang kompleks ini.

Dalam pikiran kolektifkita diam-diam tersimpan kerinduan terhadap sosok “orang baik”yang dapat diteladani. Mereka yang bergaul dengan masyarakat akar rumput akan dengan mudah menemukan konfirmasi tentang itu.

MENGANDALKAN KUALITAS PRIBADI

Itulah sebabnya ketika ada anggota aktif Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DIY mendaftar lowongan KPI Pusat, banyak orang dari unsur masyarakat sipil terhenyak. Ini nyaris merupakan pengulangan kejadian setahun lalu (2012),saat seorang oknum komisioner KPID yang masih menjabat, mendaftar Bawaslu. Kedua orang itu dinilai sudah bertindak tidak etis.Tahun lalu sejumlah elemen masyarakat sipil sempat menyampaikan protes kepada yang bersangkutan (http://www.jogjatv.tv/berita/12/03/2012).

Dalam konteks ini etika cukup dipahami sebagaimana dirumuskan Kementrian PAN-RI (2006), yang memberikan definisi sebagai “nilai-nilai moral yang mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur sikap, tindakan ataupun ucapannya”. Dari situ kita menemukan seperangkat sikap dan pola perilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia yang dipandang bernilai tinggi.

Etika pribadi bermakna sebagai sebentuk arahan tentang baik atau buruk, yang sangat tergantung kepada beberapa faktor, antara lain internalisasi nilai dalam keluarga, keyakinan agama, budaya, adat istiadat, dan pengalaman hidup seseorang. Namun, untuk keperluan operasional, kita perlu memahami hirarki etika yang memiliki empat lapis, di mana yang satu dicakup berurutan oleh yang berikutnya, yakni: etika pribadi, etika profesi, etika organisasi dan etika sosial.

Tak urung perilaku etis memang mengandalkan pada kekuatan dan kualitas kepribadian. Perilaku inilah yang memungkinkanseseorang dapat dianggap sebagai pahlawan yang dimuliakan di mata umum; dan kebalikannya:dia akan dianggap pengecut yang dicibir diam-diam. Menjadi pahlawan atau pecundang merupakan produk diri pribadinya, yang berasal dari kekuatan jiwanya.

Para pejabat publik sebagai pribadi-pribadi pastilah memiliki pertimbangan untung-rugi manakala memutuskan sesuatu seperti kasus komisioner di atas.Demikianlah, perilaku etis merupakan kutub yang berlawanan dengan perilaku pragmatis yang bermuatankepentingan. Keduanya merupakan perkara yang mutually exclusive. Semakin kuat perilaku etis seseorang, maka semakin menjauh ia dari sikap pragmatis.

OPORTUNIS SEJATI

Oknum komisioner DIY itu ternyata tidak sendiri. Ada 7 (tujuh) komisioner daerah lainnya yang masih menjabat yang beramai-ramai melamar lowongan KPI Pusat. Tidak ada catatan bahwa mereka sudah menyatakan mundur dari posisi yang dijabatnya sekarang (sebagai anggota KPID). Itu menunjukkan bahwa mereka mengabaikan amanat dari jabatan yang diembannya sekarang, yang harus dituntaskan sampai periode kerja selesai, lantaran mengejar posisi lain yang diniliai lebih menguntungkan.

Perilaku etis para komisioner tadi berada pada titik rendah karena perilaku pragmatisnya tinggi. Mereka sudah dipercaya untuk mengampu posisi komisioner KPID; namun karena mengejar potensi keuntungan lebih besar di Jakarta, kepercayaan publik itu disingkirkan atau dimanipulasi, yakni: masih tetap dipegang manakala lamarannya tidak diterima di Jakarta.

Jadi, ini merupakan tindakan memanfaatkan peluang, yang pasti ditempuh oleh seorang oportunis sejati. Di sini muncul pertanyaan lain yang mengusik publik: Jika ada peluang lain yang lebih menjanjikan, berapa lama dia akan bertahan? Bagaimana jika kelak sebagai komisioner KPIdia berhadapan dengan korporasi/lembaga yang kuat secara ekonomi-politik?

Sebaliknya, mereka itu niscaya tidak bakal disebut oportunistik kalau mereka lebih dulu mundur dari posisi sebagai komisioner KPID sebelum melamar KPI Pusat. Andai dilakukan, mereka akan tegas memperlihatkan sikap etis itu, yang berangkat dari kekuatan jiwa, sehingga rela menyongsong risiko gagal dalam seleksi.

Jika betul komisioner tadi mundur dari KPID, namun misalnya dia tidak lolos seleksi KPI Pusat, masyarakat sipil mestinya juga tidak tinggal diam. Soalnya, adanya “orang baik” yang penuh integritas itu merupakan sesuatu yang perlu dijaga.Sehingga masyarakat dimungkinkan untuk mendesak kepada berwenang (Gubernur dan DPRD) agar “orang baik” yang perilakunya etis itu dikembalikan ke posisi semula sebagai komisioner, daripada digantikan orang ‘baru’ yang belum jelas sosoknya. Jika itu terjadi di Yogyakarta, hal tersebut bisa dilakukan sejauh tidak menyalahi Pergub DIY No. 11/2011 tentang Pembentukan KPID.

Pelajaran yang juga harus dipetik adalah bahwa sistem seleksi pejabat publik yang dilakukan Panitia Seleksi, baik di daerah atau pusat, seyogyanya dirancang cermat begitu rupa, sehingga memungkinkan mendapatkan “orang-orang baik” sesuai kriteria etis, ketimbang sekadar mengejar kualifikasi administratif-kognitif belaka. Jika kita abai terhadap hal-hal demikian, maka yang kita peroleh niscaya sekadar orang-orang yang mungkin pintar, namun tidak beretika alias minus integritas.

Semoga Allah melindungi bangsa kita dari kerugian yang mungkin akan terjadi!

*) Pendiri &Partner Jogja Mediation Center; Mantan Ketua Timsel KIP DIY 2011-2014,

Catatan:Tulisan ini disiapkan pada 26 Juni 2013, saat seleksi KPI Pusat masih berproses.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun