Mohon tunggu...
Fahrizal A.Z Mursalin
Fahrizal A.Z Mursalin Mohon Tunggu... -

Little boy, who desperately want to make books. Mmm, Like a writer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pluviophobia

14 Oktober 2013   12:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:33 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pluviophobia

Awalnya aku tidak tahu bahwa Lörine menyukai hal yang berbaur tentang karya-karya seharga jutaan itu. Maksudku, ia bahkan tidak pernah mengkritik satu lukisan pun pada pameran karya seni di tengah kota. Ia selalu sibuk melempar pandangannya mencari lukisan Demoiselles d’Avignon yang sudah ia cari selama pertama kali mengenal Pablo Picasso melalui ayahnya yang sangat mengidolakan Pablo Picasso. Aku tidak tahu mengapa ia terlalu terobsesi dengan karya itu. Tapi sungguh aku katakan, ketika mulai memasuki pameran itu, suhu tubuhnya selalu berubah, pandangannya selalu kosong menatap kesana-kemari, gerakan tubuhnya yang indah mendadak kaku ketika berusaha menyelip di keramaian. Bahkan ketika aku mengingatkannya untuk pulang karena sudah larut malam, ia menamparku dengan keras. Ah, bahkan terkadang aku seperti ingin meninggalkannya disana, ada yang ganjil darinya setiap kali dia mengajakku ke pameran. Aku yakin, itu bukan Lörine. Sesuatu telah mengendalikannya. Aku meyakinkan juga bahwa orang seperti Lörine akan selalu membutuhkan dukungan. Misalnya berupa kata-kata yang mendebarkan jangtungnya, atau tindakan yang kadang terpaksa aku lakukan ketika tatapannya mulai terfokus pada satu titik. Bahkan raut wajah yang mengkerut karena marah saat aku mengejeknya lebih baik daripada tatapan dinginnya itu. Karena menurutku, itu sama mengerikannya ketika ia mulai mengajakku kepameran. Seusai jam kerja, biasanya Lörine langsung menyeretku menuju kedai kopi di persimpangan antar Hear Bridge Street dan Damningho Street. Itu sudah menjadi kebiasaan kami setiap harinya. Lörine sendiri yang memilihkan kedai tersebut sebagai tempat favoritenya di kota ini dan aku lah orang beruntung karena tempat itu terkhusus untuk kami berdua. Lörine selalu berleluasa disana, ia selalu lebih bersemangat ketimbang aku yang sudah lelah karena pekerjaan. Tapi jika dihitung kembali selama kami ketempat tersebut, Lörine lebih sering terfokus pada satu titik ketika malam semakin larut. Dan tatapannya, selalu mengarah pada bangunan tua yang tepat membelah Hear Bridge Street dan Damningho Street sebelum ia tersadar dan mulai mengajakku ke pameran di tengah kota. Menurutku, Lörine bukan orang yang bisa sendirian. Selain karena latar belakangnya yang tidak pernah mau ia ungkapkan, ia juga selalu menolak ketika aku ingin mengantarnya sampai kerumahnya. Katanya, aku cukup mengantarnya sampai satu blok dari rumahnya saja. Setelah itu, ia hanya melambaikan tangan melihatku pergi meninggalkannya. Satu hal, selama aku pergi sambil sesekali menoleh kebelakang untuk melihatnya, ia tidak pernah beranjak dari tempatnya. Hanya mematung di satu titik sambil melambaikan tangan dengan kaku. Ohya, tempat Lörine memintaku untuk meninggalkannya selalu disana. Tepat di bangunan tua di depan kedai di persimpangan Hear Bridge Street dan Damningho Street. *** Tentang persimpangan itu, sepertinya aku masih ingat dengan kejadian yang pernah terjadi disana. Sekitar lima tahun yang lalu, sepertinya. Seorang seniman terkenal di kota kami yang namanya sudah terkenal dimana-mana karena satu lukisan yang sangat terkenal dengan nama Paininghost itu menghilang. Kabarnya, laki-laki kelahiran München itu hilang bersama istrinya dan hanya muncul di tengah malam untuk melakukan aktifitas sehari-hari layaknya seorang biasa. Seperti mencuci mobil, dan menyiram tanaman, mereka lakukan di tengah malam. Ketika matahari terbit, mereka segera terbirit-birit lari ke dalam rumah dan kembali menghilang. Atau terkadang terdengar jeritan yang sangat keras dari rumah seniman itu ketika hujan menguyur. Para tetangga yang merasa terganggu dengan hal-hal aneh yang terjadi dengan rumah seniman itu melaporkan pada pihak yang berwajib. Namun, polisi sekali pun tidak bisa menemukan mereka saat mendobrak paksa rumahnya. Bahkan mobil yang kabarnya sering dicuci tidak ditemukan, dan tanaman yang sering disiram, layu saat itu. Bahkan seseorang sudah menuliskan sebuah buku tentang persimpangan tersebut berlebel kisah nyata. Menurut buku tersebut, tepat pada Sabtu malam di tengah kota, seorang lelaki paruh baya berinisial V, kabarnya melihat si seniman itu bersama istrinya di tengah-tengah pameran seni. Mereka berjalan berlika-liku seperti mencari sesuatu, V mengikuti mereka dengan hati-hati. V sendiri seperti tersihir ketika berada dekat dengan mereka, tapi ia berusaha tenang dan biasa. V mengaku ia mendengar si seninman terus menyebut kata Avignon secara berulang-ulang dan seperti berdengung dengan lambat. V tersentak ketika seniman itu berhenti dan berbalik menatap kearah V, istri seniman itu tidak terlihat oleh V, padahal tadi mereka bergandengan tangan, tapi sekarang tidak ada, dan tiba-tiba saja V tidak sadarkan diri. V terbangun dirumahnya. Rumahnya sangat gelap, ia terbaring dengan lemas di kasurnya. Betapa terkejutnya V ketika melihat istri dari si seniman tengah duduk di sudut kasurnya. Istri seniman itu terdiam, tatapannya kosong. V berusaha melarikan diri dari istri seniman yang terus menatapnya, dan V meninggal ketika melompat dari jendela kamarnya. Selanjutnya, bagian dari buku tersebut dicekal oleh pemerintah karena di duga para pembaca yang selesai membaca buku itu melompat dari jendela kamarnya setelah pulang dari pameran seni di kota. Sementara kabar tentang si seniman dan istrinya itu tidak terdengar lagi. Atau menurut desas-desus orang di kota, si seniman dan istrinya tersebut ditemukan meninggal dirumahnya dan satu lukisan yang dilumuri darah tergeletak di tangan mereka. Dan beberapa hari kemudian, aku tergesa-gesa menuju kantor. Aku berlari dan tidak sengaja bertabrakan dengan seorang wanita yang sedang berdiri di persimpangan tersebut. Wanita itu lah yang aku sebut Lörine.

***

Setidaknya itu lima tahun yang lalu. Lukisan yang kabarnya milik Pablo Picasso itu memang terdengar langka. Lukisan bertandatangan seniman yang luar biasa itu bahkan bisa dihargai seharga ratusan juta. Dan tentu saja hanya seorang yang benar-benar seniman atau memang memiliki kegemaran yang besar terhadap Picasso lah yang akan membelinya. Dan Lörine, aku masih tidak tahu untuk apa ia mencari lukisan bertanda tangan Picasso seharga ratusan juta itu, bahkan mungkin harganya sekarang sudah jauh lebih mahal—-kalaupun lukisan itu masih diperjual belikan. Hari ini aku tidak melihat Lörine di kantor. Atau memang akhir-akhir ini Lörine terlihat sibuk, ia tidak pernah lagi terlihat santai. Seusai jam kerja biasanya ia mengunjungi ruang kerjaku untuk mengajakku ke kedai kopi atau ke pameran. Tapi sekarang tidak pernah lagi. Terakhir kami bersama-sama yaitu dua hari yang lalu di pameran seni. Setelah aku mengantarnya sampai di persimpangan, Lörine memintaku segera pergi meninggalkannya. Dan jika aku ingat, suara Lörine berbeda saat itu. Aku melihat arloji tanganku. 21.30 malam terlihat disana. Aku merapihkan data-dataku di meja kantor dan segera menyambar mantel hangatku di kursi. Susana kantor lebih sepi dari biasanya, entahlah mungkin karena ini Sabtu malam, orang-orang biasanya sudah bermalas-malasan menuju kantor. Tentu saja mereka lebih mementingkan untuk berakhir pekan bersama keluarganya ketimbang harus duduk di depan komputer seharian. Dan aku juga setuju dengan itu, jika saja aku punya istri. Aku mendongkakkan kepalaku melihat keatas. Baiknya aku bergegas sebelum hujan menguyur data-dataku dan aku harus mengerjakannya dari awal lagi. Bagusnya itu tidak terjadi. Musim penghujan memang sudah terlihat sejak satu minggu yang lalu. Itu yang membuatku harus memikirkan pulang atau terkadang juga terperangkap di kantor karena hujan seharian, bahkan kalau tidak salah tiga hari yang lalu aku harus tidur di kantor karena hujan di kota ini berbeda dari hujan di kota lainnya; sangat keras. Aku tidak melihat keramaian di jalan raya. Maksudku, ini Sabtu malam orang-orang yang pulang berakhir pekan biasanya terlihat sedang melintas dengan raut wajah berseri-seri. Tapi kali ini jalanan tidak terlalu ramai. Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Di tengah perjalanan fikiranku tebayang akan lukisan seharga ratusan juta itu. Pablo Picasso, aku tidak yakin Lörine sanggup membeli satu lukisan milik Picasso. Sementara para pencita seni yang meraut uang seharga jutaan dalam satu lukisannya sedang sibuk mencari karya milik Picasso yang belum sempat mereka dapatkan. Apa lagi dengan Lörine, apa yang ia ketahui tentang lukisan? dan mengapa ia begitu mencarinya? Setetes air hujan menintik di hidungku. Sial! Aku harus bergegas. Setetes lainnya mulai menintik di atas kepala dan di bahuku. Ini tidak akan berjalan lancar. Aku harus mencari tempat berteduh. Hujan menguyur kian menderas. Aku sampai pada satu tempat berteduh yang nyaman. Aku melirik data-dataku. Aku harap tidak basah karena guyuran hujan tadi. Dan sepertinya tidak. Aku memeluk kedua tanganku guna menghangatkan diri dari hujan yang semakin lama semakin keras. Jika ini tidak berhenti, kiranya aku harus tidur di tempat ini. Aku tidak tahu sedang berteduh dimana. Hujan yang sangat keras menutupi jarak pandangku untuk mengenali tempat yang sedang aku tempati saat ini. Tempat ini agak kuno, seperti bangunan tua yang sudah lama dibiarkan berdiri. Jika aku menoleh kebelakang, aku bisa melihat tembok-tembok yang berlumut disana. Dan satu ruangan gelap yang besar seperti tidak berpenghuni. Aku merasakan ada yang berbeda dengan tempat ini. Ada sebuah bangunan yang terang tepat di depan tempatku berteduh saat ini. Aku memincingkan mata berusaha mengenali tempat itu. Benar, aku seperti pernah melihatnya. Astaga! itu kedai kopi di persimpangan Hear Bridge Street dan Damningho Street. Dan jika kedai tersebut tepat di depanku, maka sekarang aku berada di,…

***

“hei nak! Sadarlah!” Aku mengerjap-ngerjapkan pandanganku, tubuhku sedikit basah dan aku terbaring di sebuah kasur nyaman di sebuah ruangan yang gelap. Seorang pria tua berambut putih yang tertata rapih itu nampaknya sibuk dengan secangkir teh hangat di depannya. Sesekali pandangannya tertuju pada jendela yang mengarah tepat pada sebuah bangunan di depan sana. Bangunan itu, tempat tadi aku berdiri. “oh sukurlah ternyata kau sudah sadar. Kemari, anggkat kepalamu kuharap teh ini bisa menyegarkan tubuhmu yang basah itu. Silahkan-silahkan!” ia nampak begitu akrab. “aku dimana?” “oh, kawan. Minum saja teh panas itu, terkadang jika dingin kau hanya akan merasakan ampas tehnya. Minumlah” Pria tua itu mengulurkan tangannya membantuku untuk segara duduk. Ia meraih secangkir teh panas dan memberinya kepadaku.”aku kira, tadi aku berada disana” pandanganku kutujukan pada bangunan tua di luar jendela itu. Pria itu mengikuti arah pandanganku. Ia terdiam sejenak. Bahkan seperti tidak menghiraukan pertanyaanku. “hey, tuan. Sebenarnya apa yang telah terjadi? bisa kau menceritakannya?” Pria itu terduduk diam di kursi rodanya sambil menggaruk-garuk kepala. Ada sedikit ketegangan yang aku lihat di raut wajahnya. “kau bersama seseorang di bawah sana.” “tadi? siapa?” Aku mengkerutkan dahi menunggu ia menjawab pertanyaanku. “wanita itu. Wanita yang sering bersamamu.” “Lörine?” “bukan, ia hanya tempatnya tinggal” “tunggu dulu, apa yang sedang kau bicarakan? dan sebenarnya, kau ini siapa, mengapa kau bisa tahu jika Lörine selalu denganku?” “kau berada di kedaiku, nak. Kau selalu datang bersama wanita itu” Aku mulai membayangkan yang tidak-tidak. Aku menyeduh teh hangat yang dari tadi aku genggam, berusaha tenang dengan apa yang telah pria tua ini katakan. Suasana mendadak hening sejenak, dan pria itu terus menatap kearah bangunan tua di depan sana. “aku masih tidak mengerti, tuan. Anda ini siapa?” Pria itu terseyum masam mendengar pertanyaanku, ia seperti mengisaratkan bahwa aku mengenalinya. Tapi sungguh aku tidak tahu dia siapa. “kau sudah baca buku kisah nyata itu? tentang persimpangan di depan sana” cetusnya cepat. “seorang pria berinisial V mengalami gangguan jiwa setelah melihat si seniman dengan istrinya di sebuah pameran, dan pria tersebut melompat dari jendela kamarnya setelah melihat istri si seniman berada di kamarnya. Dan pria itu,… tewas.” “hahah ternyata kau percaya dengan itu.” “maksudmu, kisah tentang si seniman dan istrinya itu hanya fiksi?” “bukan tentang si seniman, tapi tentang pria yang tewas karena lompat dari jendela yang ada di depanmu itu. Menurutmu, kau akan tewas jika melompat dari sana? itu hanya empat meter, tidak mungkin pria itu tewas.” “maksudmu, jendela ini?” Pria itu mengangguk dengan satu senyuman. “jika pria tersebut tidak tewas, lalu apa yang terjadi dengannya?” “seperti apa yang kau lihat” pria itu mengarahkan pandangannya pada bagian bawah tubuhnya, kedua kakinya tidak ada. Astaga ternyata… “kau,.. V?” Ia menganggukan kepalanya. “Mr. Vernerd. Kau bisa memanggilku Mr. Vernerd” “astaga tuan, aku tidak mengetahui jika kau adalah V. Apa yang terjadi padamu? mengapa kau memalsukan kematianmu?” “bisakah kau meraih sebuah lukisan di bawahmu?” Aku meletakkan tehku disebuah meja kecil di dekatku. Aku mencondongkan badanku untuk melihat kebawah kasur sesuai dengan apa yang Mr. Vernerd tunjukkan. “kau tahu, lukisan terkenal milik seninman itu?” “Paininghost?” aku masih sibuk mencari benda yang ia maksudkan. “dan kau tahu, seperti apa lukisannya.?” “hmm, sepertinya, tidak.” “warna? atau hanya mendengarnya dari kerabatmu? maksudku, kau tidak tahu sama sekali tentang lukisan itu.?” “begitulah.” “oh bagus. Sesungguhnya aku tidak pernah mengerti dengan pemuda di abad ini.” “apakah ini, Mr?” “nah itu dia, angkatlah. Bawa kemari.” Aku terkejut saat melihat lukisan seninman itu yang ternyata persimpangan antar Hear Bridge Street dan,.. tunggu dulu. “hei, Mr. Vernerd. Mengapa nama jalan pada lukisan itu Damninghost? Aku kira Damningho?” “ohya? coba kau perhatikan huruf ‘St’ di belakangnya. Menurutmu itu singkatan dari ‘Street’ ?” Aku mengangguk ragu. “asal kau tahu, setiap nama jalan di kota ini tidak pernah disingkat dengan ‘St’, nak. Dan jika pun itu sebuah singkatan, maka ‘St’ akan diletakkan di depan sebelum nama jalan. Perhatikanlah.” “Damninghost. Lalu itu nama apa?” “itu adalah satu kata yang memiliki makna sama dengan Paininghost. Lukisan ini. Dan yang di maksudkan dengan Hear Bridge adalah jembatan antar si seniman dengan tubuh yang akan ia kendalikan.” “jadi sebenarnya Lörine, dikendalikan?” “benar.” “lalu bagaimana dengan lukisan milik Pablo Picasso itu? Lörine selalu mencari lukisan itu hingga larut malam dan terkadang, aku tidak mengenal dirinya saat sedang mencari lukisan itu. Itu bukan dia, benar?” “benar, nak. Seharusnya kau tidak mempertemukan Lörine dengan lukisan itu, karena lukisan itu adalah lukisan yang sangat di idolakan oleh si seniman. Maka jika ia mendapatkannya,…” Mr. Vernerd berhenti berbicara. Aku melihat ia menelan ludah yang membuat jakunya naik-turun, aku menunggu ia melanjutkan. “aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi setelah itu.” Kami terdiam cukup luma. Suasana hening tiba-tiba melanda kamar Mr. Vernerd. Aku melihat jam dindingnya, pukul 23.59 malam. Tepat tengah malam di Sabtu malam. Seperti kejadian yang Mr. Vernerd ceritakan dalam bukunya. Pandangan kami perlahan tertuju pada bangunan tua di luar jendela. Dan betapa terkejutnya kami ketika melihat seorang wanita mengenakan payung hitam dan memegang sebuah lukisan berdiri disana. Tatapan perempuan itu mengarah kearah bangunan tua di depannya. Dan sepertinya aku mengenal perempuan itu. Itu Lörine! “Mr Vernerd, apa kau tahu phobia seseorang yang takut dengan hujan?” “Pluviophobia” Mr. Vernerd tidak beranjak dari apa yang ia saksikan. “aku kira Lörine mengidap phobia itu.” “apa? oh tidak, nak. Tidak mungkin. Kau bercanda, hahah kau bercanda” Mr. Vernerd menjauhkan kursi rodanya dari jendela. Sementara nada bicaranya berbeda dari yang tadi. Ia seperti merasakan sesuatu akan terjadi. “ada apa Mr. Vernerd?” aku menatap Mr. Vernerd yang nampaknya sangat panik. “Mr! tenanglah! katakan, ada apa dengan Lörine? apa yang terjadi dengannya?” “nak, terkadang ketika seseorang sedang dikendalikan. Ia akan melakukan kebiasaan yang berlawan dari biasanya” nada bicaranya sangat pelan bahkan hampir tidak terdengar. “oh tidak. Lörine!” Kami melihat kearah bangunan tua itu. Dan Lörine, sudah tidak ada, hanya ada sebuah lukisan yang tergeletak dengan sebuah payung yang terjatuh di antara hujan yang keras disana. Lörine, Kemana dia? “hei Ed, apa yang kau lakukan disini?” kami berbalik. “Lörine?!” “hei Mr. Vernerd. Lama tidak berjumpa, sepertinya kamar ini ada sedikit perubahan” “hei Mr. Vernerd. Aku harap kau tidak melompat lagi dari jendela. Dan, Ed. Aku harap kau tidak melakukan yang pernah Mr. Vernerd lakukan.” *** Di Minggu pagi yang sama. Semua orang lebih tergesa-gesa dari biasanya. Seluruh kendaraan melaju dengan kecepatan penuh, satu-dua kendaraan di pinggir jalan terlihat remuk akibat tabrakan yang sangat keras. Lampu lalulintas terlihat berkedap-kedip sesekali meredup, toko-toko tertutup, atau bisa dikatakan, suasana kota pagi itu sangat berantakan layaknya sarang semut yang terbongkar. Seluruh warga panik . Bahkan para warga seperti tidak memikirkan hal lain selain keselamatan mereka masing-masing. Pagi itu warga digemparkan oleh sebuah kasus pembunuhan layaknya lima tahun yang lalu. Isi berita mengatakan bahwa telah ditemukan mayat seorang laki-laki tua bersama seorang wanita muda di salah satu kamar di kedai kopi. Sebuah lukisan yang dilumuri darah ditemukan tergeletak di atas tangan keduanya. Polisi belum mengetahui apa motiv pembunuhan ini. Tetapi menurut olah TKP yang sudah dilakukan, diduga pelaku adalah orang yang sama dengan pelaku pada kasus pembunuhan lima tahun yang lalu. Sementara sebuah lukisan di monumen kota telah di curi, diduga lukisan tersebut peninggalan milik Pablo Picasso yang sangat dilindungi selama ini. Tek! Aku menekan tombol power pada tv dan segera melempar tubuhku ke kasur. Aneh, sebenarnya apa yang telah terjadi? Aku menatap keluar jendela yang ada di sampingku. Apa?! Oh, tidak-tidak-tidak. Aku bangkit dan berlari untuk segera menutup jendela, dan ternyata macet. Sial! aku melempar pandanganku dengan cepat mencari sesuatu yang kiranya dapat menutup jendela ini. Nah, itu dia! aku bergerak cepat meraih sebuah benda disana. Aku menutup jendela itu dengan sebuah lukisan. Sial, bisa gawat jika itu terjadi lagi. Entahlah, aku pikir…. aku takut pada hujan.

sumber: fahrizalzulfikar.wordpress.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun