Di sebuah desa kecil di Jawa Tengah, terdapat sebuah tradisi yang telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakatnya. Desa tersebut bernama Sumber Rejo, sebuah desa yang dikelilingi oleh sawah menghijau dan gunung yang menjulang tinggi. Di Sumber Rejo, setiap warga memiliki cara berbicara yang unik, mencerminkan bahasa daerah mereka. Cerita ini akan membawa kita menyelami kehidupan sehari-hari di desa tersebut, dengan fokus pada keindahan dan keunikan dialek bahasa Jawa.
Pagi itu, suara ayam berkokok memecah keheningan. Gendis, seorang gadis berusia 16 tahun, terbangun dari tidurnya. Ia membuka jendela kamarnya dan menghirup udara segar pagi yang penuh aroma tanah basah setelah hujan semalam. Dengan semangat, ia bersiap untuk membantu ibunya di pasar desa.
"Gendis, ayo cepet! Pasar sudah ramai!" teriak ibunya dari dapur.
"Nggeh, Bu! Sekedap!" jawab Gendis dengan logat yang lembut.
Setelah berpakaian rapi, Gendis bergegas menuju dapur. Ia membantu ibunya menyiapkan dagangan berupa sayur mayur segar dan kerajinan tangan. Dalam perjalanan menuju pasar, mereka bertemu dengan tetangga-tetangga mereka.
"Gendis, arep menyang ngendi?" tanya Pak Joko, tetangga sebelah rumah.
"Aku arep menyang pasar, Pak!" jawab Gendis ceria.
Setibanya di pasar, suasana semakin ramai. Pedagang dan pembeli saling tawar-menawar dengan menggunakan bahasa Jawa yang beragam. Gendis memperhatikan bagaimana setiap orang memiliki cara berbicara yang berbeda meskipun sama-sama menggunakan bahasa Jawa.
Di sudut pasar, ada Bu Sri yang terkenal dengan logat Ngapak-nya. "Iki sayure seger-seger! Ayo tuku!" serunya sambil menawarkan sayuran kepada pembeli.
Di sisi lain, ada Pak Slamet yang berbicara dengan logat Solo yang lebih halus. "Silakan membeli sayur-sayuran segar dari kebun kami," ujarnya dengan sopan.
Gendis merasa bangga bisa mendengarkan berbagai bahasa, ia menyadari bahwa bahasa bukan hanya sekadar variasi bahasa akan tetapi menjadi identitas budaya yang kaya. Setiap logat membawa cerita dan sejarah tersendiri.