Sambungan dari http://fiksiana.kompasiana.com/fazil.abdullah/matahari-belum-terbit-di-sini_58d133f0de22bda93d7a779d
***
Perempuan Rohingya yang terluka itu selesai mandi. Kusuruh rebahan di ranjang. Sebuah ranjang tua yang biasa kupakai rebahan saat di dapur. Ranjang rebahan untuk tubuh tuaku yang kini mudah lelah. Ranjang itu tepat di bawah tangga.
Ia telungkup. Kusteril luka-luka di sekujur tubuh dengan antiseptik. Ia meringis. Â "Tahan," kataku. Kemudian kuolesi obat cair dengan kapas.
Bayinya sudah tidur dalam ayunan setelah kumandikan dengan air hangat. Pakaian cucuku muat untuk bayinya. Bayi yang kuat. Tak menyusahkan ibunya. Menangisnya hanya karena lapar. Luka gores di kulit bayi yang kuolesi obat, tidak membuat si bayi menangis. Seharusnya perih membuatnya menangis berontak. Bayi itu telah menunjukkan kekuatannya. Terberkahilah kekuatannya. Amitabha...
"Kamu aman sekarang," kataku pada Ayesha, nama perempuan itu. "Kamu bisa di sini sampai keadaan tenang. Lalu kamu bisa pergi ke mana saja ingin pergi."
Ia masih terisak. Kesadarannya masih melekat pada yang sudah dilalui. Kesadarannya tidak di sini. Belum ada perasaan lega setelah kuberi keamanan dan perlindungan sementara untuknya. Tak ada kesadaran untuk berterima kasih padaku. Bukan mengharapkan ia berterima kasih padaku. Namun, jika ia mengucapkan terima kasih, menunjukkan kesadarannya di sini. Kini adalah kini.
Kesadaran akan kini. Itulah kecerdasan jiwa. Pilah semua antara masa lalu dan masa depan. Jangan bawa masa lalu yang telah berlalu atau masa depan yang belum terjadi melekat dan menganggu. Masa lalu adalah pelajaran, dan masa depan adalah pengarah.
Beruntunglah yang memiliki kecerdasan dan kekuatan jiwa; kesadaran akan kini selalu menyala. Mengenal diri dan memanfaatkan situasi kini untuk menjalani hari-hari dengan tenang. Nirvana. Tapi tidak kulihat pada Ayesha. Ia masih larut pada yang telah dialaminya itu, melemahkan dirinya, dan membutakannya akan kini, masa depannya, dan anaknya.
"Ayesha," sapaku sambil terus mengolesi. "Ayesha, dengar saya," pintaku lembut. "Kamu bisa di sini sementara kalau belum punya tujuan."
Ia masih menangis. Aku mulai kecewa padanya. Jika tidak kupertimbangkan pengalaman buruk yang telah terjadi padanya, aku akan berkata keras padanya.