Usai kepergianmu, rumah kita telah didatangi banjir. Antara banjir karena hujan atau air mata, itu bisa kedua-keduanya. Ya, akulah yang banjir air mata itu.
Hari-hari hujan terus, hari-hari menangis terus. Terlalu cepat hubungan kita berakhir. Belum satu semester. Mawar yang kita tanam sebagai tanda cinta yang ingin kita rawat itu, pun baru saja berbunga.
Cinta ini baru penuh-penuhnya padamu, seperti baru mekar-mekarnya mawar kita. Lalu bayangkan yang baru mekar, ditebas diputus. Sisalah sakitnya mendarah di dada. Duhai yaaa kekasihku...
Bagaimana aku tak seluka ini, tak hilang diri. Sekiranya kau pergi setélah mulai mengelupas dan lepas pelan-pelan cinta seperti mawar yang nanti layu sendiri, aku bisa siap dan tak seluka ini. Aku bisa kuat. Tapi sekali lagi, ini baru mekar. Kau tebas tanpa ampun. Kau pergi dengan tiba-tiba.
Aku hilang diri ya kekasih, sejak kepergianmu. Aku telah dianjurkan berpergian oleh keluarga, oleh teman, agar tak tenggelam dalam kesedihan. Namun hari-hari hujan makin mengurungku di rumah. Alam seakan ikut menangis untukku dan mengikatku untuk menghayati luka dengan lebih dalam. Aku tak bisa bepergian dalam hujan. Ia tak membantuku menghapus luka, ia hanya membantuku menghayati luka. Oh duhai kekasih.... luka cinta ini menggetarkan tubuh, membuncahkan air mata.
Aku hilang diri. Aku menyibukkan diri di sini. Aku tak mau tenggelam dalam luka. Aku sibukkan diri dengan apa saja di rumah kita. Aku ingat mawar kita yang berhari-hari digenangi banjir dan diguyur hujan, tak lagi kita rawat. Aku khawatir ia bakal mati.
Maka aku bangkit dari kursi malasku. kupakai jas hujan yang kau sengaja beli buatku dan selalu kau siapkan saat aku pergi kerja (duhai... indahnya perhatianmu). Aku lihat payung biru di pojok pintu. Aku ambil payung itu. Payung yang kita beli saat kita kehujanan dan kita menikmati ketakutan yang mengasyikkan diciprat hujan. Kau merajuk dan merapatkan tubuhmu pada tubuhku. Serasa diri benar-benar telah jadi pelindungmu. Aku merasa sangat laki-laki.
Aku pakai juga sepatu boots yang sengaja kau beli yang kita gunakan saat hendak menanam mawar itu. Kau beli dua pasang. Sepasang lagi masih menunggumu untuk dikenakan. Ya kekasih...., kembalilah. Kembalilah. Bahkan sepatu boots itu ikut hampa, sunyi, terasing tanpamu.
Aku jatuh bertekuk dan kembali mengucur air mata. Ingus pun keluar. Aku tak pernah serapuh ini sebagai lelaki. Tapi kau benar-benar telah mampu hancurkan kekuatanku sebagai lelaki.
Ya kekasih... aku masih ingin kau kembali dan pegang bahuku dan tegakkan aku kembali. Kuatkan aku. Ini cinta masih penuh. Tak bisa hilang sebegitu saja meski kau selingkuh. Aku murka pada perbuatanmu, tapi tidak bisa murka pada cinta kita yang telah nyala.
Aku bangkit lagi, dengan susah payah. Di luar masih hujan dan banjir. Payung, jas hujan, dan sepatu boot melindungku. Aku keluar, melangkah dalam banjir, mengambil selang air yang tergantung di pohon mangga, dan menyiram mawar-mawar di taman kecil kita yang telah digenangi banjir.