Abu Zan, pria 50-an tahun itu baru turun dari pesawat Malaysia. Kopernya berdecit mengusik telinga penumpang Bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh. Â Ia tidak menggubrisnya. Malah menikmati perhatian mata mengernyit yang tertuju padanya. Biar orang-orang lihat, dia adalah orang sukses. Bukan lagi anak kampung yang dulu diremehkan.
Di pintu gerbang kedatangan bandara, ia meluapkan bahagia dengan berteriak lantang. "Assalamualaikum, Aceh!" Lagi-lagi mengundang tatapan aneh dari para penumpang lain, dan ia tetap tak peduli. Ponakannya, Abdul, yang menjemput dan melihat Abu Zan, tersenyum geli dengan tingkah kepedean pamannya itu.
Setelah dua jam lebih perjalanan, mereka sampai di kampung halaman. Abu Zan langsung disambut sanak saudara dan tetangga. Aroma kari kambing dan dan ayam kampung berempah menyeruak dari dapur Jubaidah. Suara anak-anak tetangga bermain di halaman rumah bercampur dengan kicau burung.
"Anak dan istri enggak bawa pulang, Bang Fauzan?" tanya adik perempuan Abu Zan yang janda, Jubaidah. Ibunya Abdul. Perempuan ini yang menempati rumah peninggalan orang tua mereka, menjadi penjaga kenangan masa lalu Abu Zan. Tetangga dan sanak saudara yang penuh di ruang tamu itu, juga bertanya hal sama.
"Nanti pas liburan sekolah. Mereka semua nyusul ke sini. Malaysia akhir tahun libur panjang sekolah," Abu Zan menjawab lantang penuh senyum. Suara lantang itu biar semua dengar, mengirim pesan tersiratnya bahwa ia kini orang berada, mampu memboyong seluruh anggota keluarga pulang kampung.
Sungguh senang ia melihat mata keluarga besarnya menatapnya kagum. Ia merasa dirinya seperti pahlawan yang kembali dari medan perang, siap menerima tepuk tangan dan pujian atas kesuksesannya.
Setelah basa-basi sejenak, ia mulai keluar tabiatnya; menceritakan tentang kesuksesan dirinya. Cerita sama yang sudah disampaikan ke Abdul selama perjalanan tadi.
"Alhamdulillah, saya sudah punya pabrik kelapa sawit di Malaysia," Abu Zan memulai ceritanya. Ia buru-buru melanjutkan. "Saya bukan cerita pamer. Tapi keberhasilan saya bisa bangun pabrik, sangat saya rasa berkat doa-doa saudara-saudara saya di kampung. Itu yang mau saya bilang."
Abdul yang sudah mendengar cerita itu dan diulang kembali, tidak bisa tidak menyimpulkan bahwa pamannya justru sedang pamer kesuksesan dirinya. Bagi Abdul, sama dengan sikap adat umumnya, bahwa menceritakan kelebihan-kelebihan diri itu perbuatan tak elok. Namun, para pendengarnya tak menangkap pesan pamer di sana. Justru mengangguk kagum.
Abu Zan melanjutkan ceritanya yang juga telah didengar Abdul "Masa konflik Aceh dulu berat buat saya. Namun, kini berbuah hikmah buat saya. Saya dulu dikejar-kejar tentara sampai ke hutan belantara. Tiga hari tiga malam saya bertahan hidup dengan makan umbi-umbian dan minum air sungai. Saya berjuang bertahan hidup. Dari situ, keberanian saya tumbuh. Keberanian adalah modal penting hidup dirantau. Dengan modal itu, saya orangnya tak bisa dilemahkan oleh masalah atau orang-orang. Saya berani hadapi orang-orang dan masalah. Alhamdulillah, saya bisa dirikan pabrik dan maju," katanya dengan mimik wajah serius, seolah-olah sedang berpidato di depan ribuan orang.