Sudah kau coba putus masa lalu, tetapi waktu seperti sungai; mengalir di nadimu.
Ke hilir kau selalu berenang dalam keruh. Sementara di hulu, Ibu yang melahirkan sering memanggilmu. "Pulanglah, Nak, pulanglah. Ibu rindu...."
Masa lalu selalu membuatmu basah. Kau tak ingin pulang. Namun, bukahkah manusia punya matahari, angin, dan tanah; waktu dan tempat istirah menyembuhkan diri, lalu membuat diri kembali hangat untuk pulang? Tidakkah kau lelah menuju muara yang kau bayang itu surga?
Bukankah telah kau lihat, hidup ternyata masih menyajikan samudera dan kau ternyata masih membawa luka? Ke manakah luka harus disembuhkah jika tidak di hati Ibu?
Semraut dan kusut jalinan kasihmu dengan Ibu. Harap dan ingin yang beradu bertubruk. Namun, pada hulu hati, lihatlah sebenarnya cinta yang tak jernih merangkai kata.
Bukankah kau tahu bayang hidupnya berselimut debu? Setiap kata yang meruah selalu membawa debu, melekat di hatimu. Ia sendiri sebagaimana dirimu. Sesak.
Tambang yang datang, mengeruk bahagia, menciptakan debu-debu. Tak lagi Ibu miliki kapal dan mengarungi mimpi. Hidup Ibu laksana pantai tanpa kapal. Sementara kau adalah ambisi. Kau ciptakan sendiri kapalmu, membawa luka, menjemput pulau masa depan yang menjanjikan surga.
Lalu kau tak lagi mengenal cinta yang sesegar mata air, sehangat mentari pagi, sesemerbak bunga, dan selembut doa-doa.
---
Menepilah sejenak. Istirahatkan hati. Maafkanlah dan ikhlaskanlah masa lalu.