Salah satu dongeng populer dan mendunia, Beauty and the Beast difilmkan kembali oleh Walt Disney Picture. Disyney mengangkatnya ke layar lebar dalam bentuk live action dengan judul sama Beauty and the Beast (2017). Sebelumnya dongeng ini sudah pernah difilmkan, baik dalam wujud animasi atau live action. Meski sudah akrab dengan jalan ceritanya, dongeng ini masih saja digemari masyarakat.
Sekalipun daya tarik film ini disebutkan karena kebaruan pemain, kostum, dan visualnya memikat, tak dapat dipungkiri bahwa penarik utama difilmkan karena unsur cerita dalam dongeng itu sendiri. Ada sesuatu dalam dongeng yang menyebabkan diterima dan disukai masyarakat dengan beragam latar sosial dan budaya.
Dongeng sebenarnya khazanah tradisi lisan yang diceritakan turun-temurun. Dongeng-dongeng yang mendapat tempat dalam bentuk tulisan atau visual itu  hanyalah sebagai sarana atau media menyebarkan dan mempopulerkan. Dongeng telah hidup dari masa lampau yang jauh dan menjadi milik masyarakat. Kepemilikannya bukan lagi individual, anonim. Termasuk dongeng Beauty and the Beast.
Dongeng ini sebagaimana awam ketahui berasal dari Amerika karena Amerika yang mempopulerkannya ke dunia. Dari bukti tertulis, dongeng ini disebut berasal dari daratan Eropa, tepatnya Prancis. Dongeng ini ditulis oleh Gabrielle-Suzanne de Villeneuve dengan judul La Belle et la Bete (1740). Lalu Disney menyadurnya menjadi Beauty and the Beast (www.wikipedia.org)
Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa dongeng populer dan mendunia seperti Beauty and the Beast sebenarnya sudah hidup sejak empat ribuan tahun lampau bahkan mengarah berasal dari zaman pra-sejarah (www.bbc.com, 20 Januari 2016). Dengan demikian, peran Suzzane atau Disney hanya sebagai tukang cerita modern yang mempopulerkan kembali dongeng, bukan sebagai pencipta dongeng.
***
Secara sepintas persepsi kita terhadap dongeng adalah karya imajinatif, khayalan, tidak nyata. Lalu apakah karena imajinatif ini sebagai penyebab utama dongeng diterima dan disukai lalu dituturkan kembali. Dengan kata lain, apakah manusia punya kecenderungan menyukai yang tak nyata dan mewariskannya dari generasi ke generasi? Begitukah?
Memang fakta bahwa dongeng bukan kisah nyata. Fakta bahwa semua dongeng menyuguhkan kejadian melampaui kejadian sehari-sehari alias khayalan. Namun, jika didalami lagi, bukan khayalan ini yang menjadikan dongeng menjadi menarik, disukai dan diteruskan dari generasi ke generasi.
Berikut beberapa catatan kenapa dongeng diterima, disukai, dan terus dituturkan kembali turun-temurun.
1. Nilai ideal