Kami sudah diberi penyuluhan oleh dinas-dinas yang kini jadi pemilik hutan itu [dulu leluhur kami yang punya]. Mereka membawa ceramah soal sadar lingkungan. Pemuka adat, kepala kampung, pemuda, warga, diundang semua. Meminta untuk menyadari bahaya pembalakan liar, dihidang aturan dan hukuman buat pelaku, dan meminta kami ikut menjaga dan mengawasi hutan lindung tanpa memberi solusi bagaimana kami penuhi kebutuhan hidup.
Acara sosialisasi berjalan lancar. Kami senang. Bukan karena mendapat ceramah itu. Senang karena mendapat uang saku dan dan uang transport sehabis penyuluhan.
Penyuluhan hanya suluh yang padam di kemudian hari. Sampai kini pembalakan liar masih terjadi. Kami pelakunya. Bukan dengan kebanggaan dan niat dendam kami lakukan. Kami melakukan sesuai kebutuhan dan secukupnya. Itu kebijakan awalnya antar-tetua dan kampung kami.
Kenyataan kemudian, kebijakan itu tergilas oleh kebutuhan dan keserakahan. Ketika lebaran, ketika tahun ajaran baru, ketika kebutuhan mendesak, ketika hiburan dan kemudahan dibutuhkan di tengah dunia yang melelahkan ini, maka warga menempuh tebang pohon. Apalagi ada tawaran dari perusahaan, pengepul, pemodal, kontraktor yang meminta kayu.
Kebijakan memenej pemanfaatan hutan, tertebang tergeletak mati. Semua ingin mendapat keuntungan dan hendak memenuhi kebutuhan hidup yang tak pernah cukup-cukup. Dulu kampung kami tak ada pengeluaran untuk listrik, pulsa, pendidikan, iuran ini itu, kredit motor, kulkas, televisi, dan banyak lagi. Hidup zaman kini banyak dituntut untuk dipenuhi. Sementara untuk mendapat semua itu harus mencari uang. Sumber uang kami kebun, sungai, hutan, dan ternak.
Lalu zaman tak lagi memudahkan kami mencari uang. Kebun mudah terserang hama, pupuk dan obat-obatan mahal, harga jual panen yang rendah, ternak kadang mendadak mati, semua keadaan dari berbagai sudut menyulitkan kami. Lalu kami lari ke hutan agar bisa bernafas kembali.
Pembalak liar ini macam-macam. Ada hanya warga kampung karena terdesak kebutuhan, ada karena terorganisir dan dibeking oleh aparat, ada karena permintaan oleh pihak-pihak yang terlibat pembangunan. Kayu merbau kami sangat laris permintaan. Apalagi pascabencana.
Kayunya biasa digunakan dalam konstruksi berat seperti balok, tiang dan bantalan di bangunan rumah maupun jembatan. Karena kekuatan dan keawetannya, kayu merbau juga dimanfaatkan secara luas untuk pembuatan kusen, pintu dan jendela, lantai parket, papan-papan dan panel, mebel, badan truk, ukiran dan lain-lain.
Aku tidak bangga menceritakan semua ini. Ini adalah ironi hidup. Lingkaran setan yang terus berkelindan. Hukum yang tak berpihak kepada kami, kebutuhan hidup yang menindih kami, dan kecurangan yang dipertontonkan pelaku lain dalam pembalakan liar, keserakahan demi keuntungan besar, kami tak tahan untuk tak ikut menebang. Jadilah dua sisi hidup bergulir; demi mewujudkan kenyamanan dan keamanan papan sebagian manusia lain, membawa korban sebagian manusia lain.
Banjir dan longsor saban tahun terjadi. Kami sudah terbiasa menerima ancaman musibah itu sebagaimana biasanya kami menerima pergantian musim. Kami menghadapi resiko itu. Kami menghadapi semua, termasuk menghadapi patroli hutan, polisi, bahkan TNI pun kadang sesekali ikut dikerahkan.
Kami bermain-main kucing-kucingan dengan aparat. Kadang sebagian bisa dijadikan teman. Kami berbagi dan mendapat beking. Maka pembalakan liar sampai kini tak pernah mati. Mungkin sampai hutan habis dan bencana maha besar menghentikan semua. Jika itu terjadi, silakan timpakan kesalahan itu ke kami orang kecil ini.