KUPU-KUPU TAK BERWARNA DAN TAK BERSAYAP: PENGAKUAN JIWA-JIWA YANG TERLUKA
Kupu-kupu kini tak lagi berwarna dan tak bersayap. Untuk sekian masa ke depan, kupu-kupu hanya dikenal sebagai ulat. Hilang sudah kebahagian pada masa-masa yang telah berlalu; menjadi kupu-kupu indah yang dikagumi dan disenangi seluruh penduduk Negeri Cilukba. Sejak dikutuk, kupu-kupu hanya dikenal sebagai ulat yang menjijikkan dan binatang rakus yang melahap setiap dedaunan.
"Seribu daun kau lahap, tak akan menghapus kutukanmu," ucap Katak datar. Sejak tadi Katak memperhatikan polah ulat yang rakus melahap dedaunan di tepian Rawa Terkutuk.
"Masa bodo! Apa urusanmu sih? Urus dirimu yang terkutuk itu hei, Pangeran! Sama-sama terkutuk gak boleh nyinyir!" Ulat jantan tak senang. Kini semua yang mencoba dekat-dekat dan berbaik-baik dengan ulat, dianggap jahat dan tak menyenanginya. Maka ulat selalu balas dengan memberi racun gatal-gatal.
Jauh, jauh berubah sudah kupu-kupu sejak menjadi ulat. Tidak hanya fisiknya, juga karakternya. Karakternya dulunya malu-malu, ceria, bersahabat, menyenangkan setiap yang berada dekat kupu-kupu, kini berubah menjijikkan. Begitu rapuh karakternya. Fisik berubah, harusnya tak mengubah karakternya. Namun apa boleh dikata, begitulah jadinya diri jika karakter hanya dibentuk oleh yang menyenangi dan mengaguminya saja. Saat hilang kesenangan dan kekaguman akan diri, hilang pula karakternya.
Katak menunduk. Di atas sebuah onggokan kayu di tepian Rawa Terkutuk itu, Katak duduk menerawang. Ia terluka hati diserang Ulat dengan kata-kata beracun itu.
"Sesama terkutuk, harusnya tak boleh menyakiti," Katak seperti bicara dengan dirinya. Sebenarnya ditujukan kepada ulat. Ulat mendengar itu, tetapi mengabaikannya.
Ulat jantan melihat pasangannya yang ikut sedih melihat Katak. "Udah, Beb. Gak usah digubris. Makan saja daun itu."
Ulat betina itu yang sejak dikutuk tak banyak bicara, kembali melahap daun. Air matanya jatuh.
Ulat jantan yang berkata kasar pada Katak sebenarnya juga menangis; menangis dalam hati. "Semua sudah berubah, Beb. Menjadi tak berwarna dan tak bersayap, lalu menjijikkan pula, maka tak ada apa-apa lagi yang kita punya dan mempertahankan hidup kita. Kita akan mudah diinjak dan ditumpas. Tak ada arti apa-apa lagi kita, Beb. Tak ada arti. Mati dan tak berarti." Perih hati Ulat.
"Lampiaskan luka kita, Beb, dengan lahap semua dedaunan. Hanya melahap daun, menghibur luka kita. Demi Luka Yang Tak Terhapus Masa, akan kuwariskan luka kita ini pada keturunan kita kelak untuk menggerogoti setiap dedaunan seluruh sudut negeri ini sampai kerontang!" sumpah Ulat jantan penuh dendam dan amarah.