Sebulan itu, siswa akhir tahun, termasuk saya, tegang mengikuti belajar malam persiapan ujian. Sejujurnya, di pondok pesantren tempat saya bersekolah kala itu, ujian akhir seakan mimpi buruk.
Periode ujian yang panjang, sekitar sebulanan, dan begitu banyak materi yang diujikan menjadi tantangan tersendiri. Bayangkan, pelajaran dari kelas VII sampai XII diujikan pada ujian akhir tahun itu. Belum lagi, sebagian besar mapel tersebut berbahasa arab.
Bukan main. Demi mempersiapkan diri mengikuti ujian pada keesokan harinya, kami sampai begadang, bahkan hingga dini hari. Memangnya tidak bisa mencontek?
Tidak mungkin. Tidak ada soal pilihan di pesantren kami. Semua soal esai. Bisa dibayangkan bagaimana peliknya menjawab soal esai dengan menggunakan bahasa arab. Â
Selain itu, bila memang ada yang mencontek dan ketahuan, mereka bisa dapat hukuman berat. Tidak tanggung-tanggung, dikeluarkan dari pondok dan memang sudah ada buktinya.
Nama mereka diumumkan di hadapan ribuan santri. Selain itu, mereka tidak bisa lagi melanjutkan pendidikan di pesantren.
Maka dari itu, menurut saya waktu itu, setiap malam selama ujian akhir  seperti gladi resik jelang peperangan esok hari. Sebisa mungkin harus siap. Mengulas pelajaran kelas VII sampai XII. Enam jenjang pendidikan.
Bila besok diujikan dua mapel, berarti tinggal dikali 2 x 6 buku. Jadi, 12 buku itu harus kami ulas dalam semalam.
Saking hectic-nya, kami menghalalkan berbagai cara. Maksud, di sini tentu tidak melewati koridor yang ditentukan, apalagi sampai mencontek atau membawa contekan ke dalam ruang ujian.
Namun, bagaimana melakukan persiapan yang efektif sekaligus efisien mengingat waktu persiapan tidaklah banyak. Salah satunya, dengan 'menguping' teman yang sedang melafalkan materi pelajaran.