Sudah ketiga kalinya dalam sehari ini, dia (temanku) membuat story Instagram -- menampilkan dirinya menikmati es kopi susu. Tiap unggahan, tempat membelinya pun juga berbeda. Terlihat dari lokasi yang ditambahkan dalam cerita.
Sebagai orang yang mengamini kenikmatan kopi, muncul rasa kagum terhadap temanku. Untuk kegemarannya, dia rela mengalokasikan bujet yang tak sedikit. Satu cup-nya, taruhlah sekitar Rp 20 ribu. Sehari dia mengkonsumsi 3 kali, berarti Rp 60 ribu per hari. Dikalikan hari dalam sebulan (30 hari), setidaknya total pengeluaran ngopi-nya Rp 1,8 juta per bulan.
Sementara satu cup itu hanya menghabiskan sekitar 40 gram kopi, totalnya selama sebulan sekitar 3,6 kilogram. Itu baru satu orang, belum 10 atau 20 orang. Kalau begitu, buukan berarti petani kopi yang panennya bisa sampai ton-tonan justru untung besar?
Namun nyatanya tidak demikian. Mengutip dari Viva.co.id, dalam penelitiannya, menyebutkan dari secangkir kopi seharga Rp 45 ribu, sebagian besar petani kecil hanya menerima Rp 450.
Daya laba di kebun kopi (hulu) tidak semeriah kedai kopi di perkotaan (hilir). Padahal usaha petani berpuluh-puluh kali lipat ketimbang yang dilakukan barista saat menyeduh. Setidaknya menggiling (grinding) bijih kopi tak sepayah ketika menyemai bibitnya. Menentukan rasio kopi dan air saat penyeduhan tak seberapa rumit ketimbang saat pengajiran benih.
Itu belum termasuk soal modal, ancaman satwa liar yang wilayahnya bersebelahan dengan kebun kopi, tengkulak, kartel harga, impor dan ditambah rantai distribusi yang begitu panjang. Sebenarnya tidak hanya kopi, ketimpangan kondisi hulu dan hilir ini juga dialamai sebagian besar komoditas pertanian. Itulah yang menjadi menurunkan minat anak petani meneruskan mata pencaharian orang tuanya. Bertani identik kotor dan tidak menguntungkan.
Jerat Tengkulak yang Mengakar
Seperti pengertian di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mengakar berarti 'menyatu benar di dalam hati, pikiran dan sebagainya (tentang ajaran, adat, dan lainnya)'. Keberadaan tengkulak menjadi elemen yang tak terpisahkan dari pertanian tradisional.
Tidak ada sumber yang jelas menyebutkan sejak kapan tengkulak muncul di Indonesia. Ada pihak yang memperkirakan sebenarnya praktik tengkulak sudah dilakukan pada zaman Penjajahan Belanda, tepatnya saat Sistem Tanam Paksa digalakkan. Saat itu, pribumi disuruh untuk menanam sejumlah komoditas ekspor, yang nantinya diserahkan kepada penguasa.
Setelah kemerdekaan, praktik ini diteruskan dan dilakukan oleh sejumlah masyarakat pribumi dan pemilik modal. Awalnya keberadaan tengkulak dianggap membantu. Dimulai dari penjemputan hasil panen ke lahan. Juga tengkulak memberi akses pasar kepada para petani. Â