"Karina, tolong tambahin nasi."
Anak perempuan itu turun dari tempat duduknya di meja makan dan menerima piring dari tangan ayahnya. Ia membuka tutup penanak nasi, tangan mungilnya berhasil meraih sendok di dalamnya.
Bukan mudah menyendok nasi untuk seorang anak kecil. Terbukti ia tak sengaja melempar sedikit nasi karena sulit memperkirakan tenaga yang harus dikeluarkan.
Yang pertama kali alam bawah sadarnya membuatnya melakukan adalah melihat ayahnya, yang sedang melihatnya dengan penuh penilaian. "Bukan begitu dong caranya! Duh, kamu ini bagaimana sih."
"Sudahlah, Yah."
"Bukan begitu, Bu. Karina harus tau gimana cara ambil nasi," Ayahnya berdiri, "kamu nyendoknya gini, bukan gini."
Batin Karina kecil berkata, kenapa Ayah sangat marah?, tetapi yang benar-benar ia biarkan keluar hanya mengiyakan sang Ayah.
Tak berapa lama suasana berjalan seperti semula. Satu keluarga kecil yang terdiri atas empat orang ini melanjutkan makan sambil mengobrol. Tidak, sampai Karina lagi-lagi berulah. Ya, ulah yang tidak disengaja dan tak terlalu berarti.
"Bisa-bisanya gelas jatuh! Bagus gak pecah, coba kalau kaca, ngerepotin Ayah Ibu kamu."
"Karina sayang, ada pel di situ. Ayo, diambil, sampai kering ya," ujar sang Ibu sambil mengelus kepala anaknya.
Saat mengepel pun ia khawatir dilihat Ayahnya. Takut dimarahi lagi, mengepelnya pun jauh dari sempurna.