Era digital memberikan akses informasi yang begitu masif dan cepat melalui media sosial. Tidak dapat disangkal, akun media alternatif seperti Folkative dan USSfeeds menawarkan sesuatu yang menarik bagi generasi muda, yaitu kecepatan dan gaya penyajian yang santai serta mudah dicerna. Informasi yang disampaikan dikemas dengan visual menarik, bahasa santai, dan pendekatan yang lebih dekat dengan audiensnya. Namun, di balik itu, terdapat risiko yang tidak bisa diabaikan. Banyak dari informasi ini bersifat parsial, tidak diverifikasi secara mendalam, atau bahkan hanya mengandalkan kutipan dari sumber lain. Melalui Siaran Pers No. 02/HM/KOMINFO/01/2024. Selasa, 2 Januari 2024, selama tahun 2023, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menangani sebanyak 1.615 konten isu hoaks yang tersebar di berbagai situs web dan platform digital, ini menunjukkan risiko serius dari pola konsumsi berita.
Di sisi lain, media arus utama seperti Kompas, Tempo, dan CNN Indonesia terus berupaya mempertahankan standar jurnalisme yang tinggi. Liputan mereka dilakukan dengan proses yang jelas. Mulai dari verifikasi fakta, wawancara dengan narasumber terpercaya, hingga analisis yang mendalam. Namun, mengapa media ini tidak mendapatkan perhatian yang sama dengan akun-akun sosial media? Jawabannya terletak pada pola konsumsi informasi masyarakat saat ini. Menurut data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), 77,02% pengguna internet di Indonesia lebih sering mengakses berita melalui media sosial dibandingkan situs web berita resmi. Banyak orang lebih tertarik pada konten cepat saji yang langsung memberikan inti informasi tanpa perlu membaca artikel panjang. Selain itu, algoritma media sosial lebih mengutamakan konten yang banyak disukai dan dibagikan, bukan yang paling informatif atau kredibel.
Fenomena ini menggarisbawahi tantangan bagi jurnalisme profesional. Sebagai mahasiswa Jurnalistik, saya menyadari pentingnya menjaga kualitas dan integritas pemberitaan di tengah persaingan dengan media sosial. Jurnalisme bukan hanya tentang menyampaikan informasi, tetapi ia juga harus mendidik dan memberikan konteks kepada pembacanya. Ketika media sosial menjadi sumber utama informasi, risiko misinformasi dan disinformasi meningkat. Ini adalah ancaman nyata bagi masyarakat yang membutuhkan informasi yang akurat untuk mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan media sosial atau audiens. Perubahan pola konsumsi informasi adalah refleksi dari perkembangan teknologi dan gaya hidup. Oleh karena itu, media arus utama perlu beradaptasi tanpa mengorbankan prinsip-prinsip jurnalisme. Salah satu cara adalah dengan mengintegrasikan elemen-elemen yang menarik dari media sosial, seperti visualisasi data yang menarik, narasi yang lebih sederhana, dan penggunaan platform digital untuk menyebarluaskan berita mereka. Sebagai contoh, Kompas TVÂ telah mengadaptasi strategi serupa melalui program "Kompas Update" di platform media sosial mereka, yang menyajikan rangkuman berita dalam bentuk video singkat dengan infografis menarik. Selain itu, Narasi TV juga memanfaatkan platform seperti Instagram dan TikTok untuk menyampaikan berita dan isu sosial dengan gaya yang menghibur namun tetap informatif, menjangkau audiens muda dengan pendekatan kreatif.
Selain itu, peran literasi media menjadi sangat penting. Sebagai mahasiswa Jurnalistik, saya percaya bahwa edukasi tentang cara mengonsumsi informasi adalah kunci untuk mengatasi tantangan ini. Literasi media tidak hanya tentang kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga tentang memahami proses di balik produksi informasi, mengenali bias, dan memverifikasi sumber informasi. Dengan literasi media yang baik, masyarakat akan lebih mampu menilai kredibilitas informasi yang mereka terima, baik dari media sosial maupun arus utama.
Kesenjangan antara popularitas media sosial dan kredibilitas media arus utama sebenarnya juga dipengaruhi oleh algoritma dan pola distribusi informasi. Media sosial dirancang untuk memaksimalkan engagement, sering kali dengan menampilkan konten yang kontroversial atau emosional. Sementara itu, media arus utama mengedepankan fakta dan analisis yang tidak selalu menarik perhatian besar dalam format media sosial. Akibatnya, masyarakat cenderung mendapatkan informasi yang tidak utuh atau bahkan bias karena konten viral lebih mudah diakses dibandingkan artikel investigasi mendalam yang memerlukan waktu dan perhatian untuk dipahami. Hal ini selaras dengan temuan dari Pew Research Center yang menunjukkan bahwa 64% orang dewasa di Amerika Serikat mengandalkan berita yang muncul di feed mereka, meskipun hanya 29% yang benar-benar membaca sumber berita tersebut.
Di Indonesia, peran media sosial sebagai saluran utama penyebaran berita telah menciptakan realitas baru. Banyak isu penting yang kurang mendapatkan perhatian media sosial karena dianggap "tidak menarik" secara algoritmik. Misalnya, isu-isu lingkungan seperti deforestasi atau perubahan iklim sering kali tenggelam di bawah berita viral tentang selebriti atau kontroversi politik. Padahal, isu-isu ini memiliki dampak besar terhadap kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Media arus utama memiliki tanggung jawab untuk terus menyoroti topik-topik ini, bahkan jika mereka tidak "tren" di media sosial.
Salah satu solusi yang dapat dijajaki adalah kolaborasi antara media arus utama dan media sosial. Misalnya, media arus utama dapat bekerja sama dengan influencer atau kreator konten untuk mempopulerkan berita penting yang mereka liput. Dengan cara ini, audiens yang lebih luas dapat dijangkau tanpa mengorbankan integritas berita. Selain itu, penguatan regulasi terhadap konten di media sosial juga dapat membantu mengurangi penyebaran informasi yang salah. Pemerintah dan platform teknologi perlu bekerja sama untuk menciptakan kebijakan yang memastikan informasi yang beredar di media sosial memenuhi standar minimal kebenaran dan kredibilitas.
Pada akhirnya, media sosial dan media arus utama harus dilihat sebagai entitas yang saling melengkapi, bukan saling bersaing. Media sosial dapat menjadi jembatan untuk menjangkau audiens yang lebih luas, sementara media arus utama menyediakan fondasi informasi yang kredibel dan mendalam. Kolaborasi antara keduanya dapat menciptakan ekosistem informasi yang lebih sehat dan berimbang.
Sebagai mahasiswa Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saya memiliki tanggung jawab untuk menjadi agen perubahan dalam dunia informasi. Dengan harus terus belajar, berinovasi, dan menjaga nilai-nilai jurnalisme di tengah arus informasi yang terus berubah. Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa masyarakat tetap mendapatkan informasi yang mereka butuhkan untuk menjalani kehidupan yang lebih baik dan lebih sadar.