Dedi Kusnadi mengatakan, kebijakan baru pemerintah Indonesia terkait kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% akan dilaksanakan paling lambat awal Januari 2025. Di Indonesia, PPN adalah sumber pendapatan utama dalam struktur pajak. C-efficiency Indonesia saat ini menunjukkan efisiensi pengumpulan PPN berada di angka 63,58. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia hanya mampu mengumpulkan sekitar 63,58% dari total potensi PPN yang dapat dipungut. Â Menurut Dedi Kusnadi dalam Webinar Nasional "Menganalisis Implikasi Perubahan Kebijakan Pajak Terbaru dengan Menggali Dampak dari Kenaikan PPN 12% di Era Pemerintahan 2025", angka C-efficiency Indonesia masih terbilang rendah jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. "Negara-negara lain sudah mampu mencapai efisiensi pengumpulan pajak yang lebih baik karena mencakup semua sektor, sementara di Indonesia masih banyak sektor yang belum terjangkau oleh sistem PPN," ujarnya dalam webinar yang dilaksanakan pada selasa, 15 Oktober 2024. Hal ini disebabkan oleh beberapa keringanan PPN yang masih berlaku.
Dedi Kusnadi mengungkapkan, salah satu poin penting dalam kebijakan baru kenaikan tarif PPN adalah perluasan basis pajak dengan mengubah status barang dan jasa yang semula tidak termasuk dalam Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) menjadi BKP dan JKP. Aturan baru ini akan membuat barang dan jasa yang sebelumnya tidak dikenakan PPN menjadi dikenakan pajak dan dimasukkan ke dalam sistem pemungutan. Diharapkan langkah ini  dapat memperluas daftar barang dan jasa yang dikenai pajak sehingga dapat meningkatkan penerimaan pajak. Selain itu, pemerintah juga mempertimbangkan kebijakan ini sebagai upaya untuk mengatasi pengeluaran pajak yang tinggi, yang mencapai 65% pada tahun 2019. Angka ini menunjukkan seberapa besar pemerintah melakukan keringanan pajak dengan memberikan pengecualian pajak dan pengurangan tarif pajak untuk berbagai industri.
Meskipun demikian, beberapa kategori barang dan jasa yang dianggap menjadi kebutuhan dasar masyarakat tetap mendapatkan fasilitas pembebasan PPN. Selain itu, jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pendidikan, dan jasa pelayanan sosial juga mendapatkan fasilitas pembebasan PPN agar tetap dapat dijangkau oleh masyarakat. Beberapa kategori barang dan jasa tertentu yang menerima fasilitas pembebasan PPN yaitu, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, dan tempat makan; emas batangan yang digunakan untuk kepentingan devisa negara; jasa keagamaan yang dianggap penting bagi kebutuhan spiritual masyarakat; jasa kesenian dan hiburan yang bersifat tradisional; jasa perhotelan yang dianggap dapat mendukung sektor pariwisata; jasa yang disediakan oleh pemerintah termasuk jasa penyediaan tempat parker; jasa boga atau katering untuk acara-acara tertentu. Menurut Dedi Kusnadi, langkah ini diambil dengan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat serta sektor-sektor yang dianggap penting bagi perekonomian nasional. Untuk meminimalkan dampak langsung dari kenaikan tarif PPN terhadap daya beli masyarakat, pemerintah mengambil tindakan untuk melakukan kenaikan tarif PPN secara berkala. Tahap pertama dilaksanakan sejak 1 April 2022 dengan kenaikan tarif dari 10% menjadi 11% dan tahap berikutnya adalah peningkatan menjadi 12% yang akan berlaku final untuk semua sektor mulai 1 Januari 2025. Tahap kenaikan tarif secara berkala ini dilakukan untuk memberikan ruang bagi masyarakat dan pelaku usaha agar dapat beradaptasi dengan perubahan kebijakan fiskal. Dalam jangka panjang, kebijakan ini diharapkan dapat mendukung pemulihan ekonomi nasional pascapandemi dan memperkuat basis penerimaan pajak negara.
Dedi Kusnadi mengatakan, kebijakan baru ini juga meliputi terkait penyederhanaan mekanisme pemungutan PPN untuk barang dan jasa tertentu atau sektor usaha tertentu. Pemerintah menerapkan tarif final pemungutan untuk kategori-kategori tertentu BKP dan JKP. Selain itu, perubahan kenaikan tarif ini juga sejalan dengan aturan internasional terkait kenaikan PPN. "Kenaikan PPN di Indonesia ini merupakan langkah yang sudah sejalan dengan praktik internasional, di mana kenaikan tarif PPN dilakukan secara bertahap dan diiringi dengan kemudahan dalam proses pemungutan pajak," jelasnya.
Dedi Kusnadi juga menambahkan, kenaikan tarif PPN ini sudah pasti berdampak pada peningkatan harga barang dan jasa di pasaran. Dengan naiknya tarif pajak, otomatis biaya produksi barang dan jasa akan ikut meningkat, yang pada akhirnya dapat memengaruhi harga jual di pasaran. Namun, pemerintah dapat menyusun strategi untuk meminimalisir dampak ini dengan memberikan subsidi atau insentif tertentu. Seperti pembebasan pajak penghasilan (PPH) bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Pemerintah juga berharap pelaku usaha dapat menyesuaikan harga dengan bijak serta tidak mengambil keuntungan yang berlebih dari perubahan tarif PPN ini. Di sisi lain, kenaikan PPN juga diharapkan dapat mendorong lebih banyak transaksi yang masuk dalam sistem pajak. Dengan demikian, diharapkan dapat mengurangi praktik ekonomi informal yang selama ini sulit dijangkau oleh sistem pajak.
Dengan adanya kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada tahun 2025, merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara serta memperkuat stabilitas fiskal. Dengan melakukan perubahan pada kategori BKP dan JKP serta memberlakukan pengecualian untuk barang dan jasa yang menjadi kebutuhan dasar bagi masyarakat, kebijakan ini dirancang agar tetap dapat mendukung daya beli masyarakat. Â Selain itu, tahap-tahap kebijakan juga dilakukan untuk mengurangi dampak langsung terhadap harga barang dan jasa di pasaran, serta mendorong pemulihan ekonomi nasional yang lebih berkelanjutan. Pemerintah juga terus berkomitmen untuk mengawasi serta menyesuaikan kebijakan ini agar tetap sesuai dengan kondisi perekonomian dan kebutuhan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H