Sebelumnyasilahkan merujuk artikelyang ditulis Pak Agung Webe berjudul, “Islam Bukan Sebagai Lembaga Namun Ajaran Berserah Diri”. Sebagai kronologis, Pak Agung sendiri juga mengatakan bahwa, catatan tersebut “adalah pandangan pribadi yang terlepas dari ilmu tafsir, namun beliau menamakan catatan tersebut sebagai “penyelaman saya” terhadap kedalaman ayat tersebut.”
Dari penggalan artikel beliau, setelah mengutip dua ayat, Surat Al Madidah ayat: 3 dan penggalan SuratAli Imran: 19, pak Agung membubuhkan catatan demikian,“Dijadikan ayat yang dapat menimbulkan fanatisme kelompok dan berpotensi untuk menyalahkan keyakinan lainnya, dimana kepercayaan bahwa hanya agamaku yang diterima Allah dan hanya agamaku yang benar menjadi slogan kebenaran.”
Sebuah kekhawatiran logis dan wajar. Namun untuk catatan kekhawatiran terakhir pak Agung, saya memberikan catatan khusus. Silahkan merujuk artikel saya yang ini; “Dialog Peradaban Versus Bar-barisme”.
Sebagai muqadimah, dalam wacana Islam, seluruh agama Ilahi(ajaran langit) sejak Nabi Adam as hingga Nabi terakhir Muhammad Saw agama-agama yang dibawa oleh para nabi semuanya berstatus ‘diakui’. Mempercayainya merupakan salah satu syarat menjadi Muslim. Kendati demikian, para pemikir Islam meyakini bahwa setiap ajaran Islam yang yang datang setelahnya mengakomodasi seluruh pesan agung agama-agama ilahiah terdahulu dan mengajukannya dalam format yang lebih logis, kokoh, dan murni. Dan yang tak dapat dipungkiri adalah, Al-Quran kitab terakhir merupakan sebuah kitab Ilahi yang multidimensi (muhkamat dan mutasyabihat) dan diturunkan bertahap selama 23 tahun. Dan untuk memahami fokus dan maksud kitab Ilahi ini, dibutuhkan metode dan cara khusus; bukan sekadar butuh perenungan dan penalaran serta penyelaman, melainkan juga ketelatenan tinggi. Lebih penting lagi adalah analisis seputar relasi satu ayat dengan ayat lainnya.
Pak Agung menulis, “Islam yang kita maknai bukan sebagai lembaga akan menemukan makna yang sangat luas yaitu sebagai Ajaran. Lembaga adalah buatan manusia sedangkan Ajaran adalah diturunkan oleh Allah itu sendiri.”
Hingga saya membaca beberapa kali keterangan makna Islam sebagai lembaga, saya gagal menemukan bangunan argumentasi pak Agung dalam menegaskan keterangan bahwa Islam sebagai lembaga tapi ajaran yang diturunkan oleh Allah swt. Dan sejauh yang saya fahami, catatan pak Agung justru menegaskan bahwa, pertama, agama sebagai lembaga ketika agama Islam ditempatkan sebagai formalitas layaknya barang budaya yang tentu memerlukan otoritas, yaitu tokoh masyarakat (ulama). Dari sinilah Islam harus puas berada di luar kekuasaan. Kedua, ketika Islam ditempatkan sebagai alat yang otoritasnya berada di bawah kekuasaan. Kekuasaan tersebut kemudian menyusun dan membiayai program yang melibatkan nilai agama seperlunya dan dianggap perlu, misalnya menggiatkan tokoh-tokoh didikan media dan organisasi tertentu untuk tampil dalam televisi, media dan menyampaikan pesan-pesan “moral” untuk menyukseskan kampanye sosial, politik dan budaya.
Ketiga, ketika Islam ditempatkan secara demokratis dan liberal. Artinya, agama (Islam) merupakan "lahan basah" yang semua orang punya hak dan kekuatan yang samauntuk memahami dan menafsirkannya, sehingga tidak ada lagi otoritas agama, tidak ada kompetensi ulama, tidak ada pula tanggung jawab antartafsiran. Setiap kepala dan diri kita adalah imam atas dirinya sendiri.
Adapun ayat Al Quran dalam Surat Al Imran: 19, “Innaddina‘Indallahil Islam“ (Sesungguhnya agama yang diridhai Allah hanyalah Islam) dan “Hari ini Aku lengkapi bagimu agamamu ( yaitu Islam ), dan Aku sempurnakan bagimu akan nikmat-Ku, dan Aku ridha Islam sebagai agamamu “(Qs Al Maidah : 3 ) yang oleh Pak Agung dikatakan sebagai ,” Merupakan makna yang sangat luas dan tidak dibatasi hanya sebagai lembaga saja. Untuk itu dalam membaca ayat tersebut, kata Islam saya maknai sebagai ‘jalan berserah diri kepada Allah’ sehingga saya tidak membatasi hanya monopoli milik Islam sebagai lembaga”. Berikut dibawah ini beberapa catatan tak penting saya;
Catatan Pertama: Bahwa dalam Al-Quran, kata ‘Islam’ dalam bentuk masdar (asal kata) diungkapkan sebanyak delapan kali, sementara dalam ism fa’il (subjek) (muslimin, muslimun, muslim, muslimah, dan muslimaat) sebanyak 44 kali, dan sebagai fi’il (kata kerja) (aslam, aslamtu, aslamtum, aslamna, aslamu, dan sejenisnya) 20 kali.
Catatan Kedua: Mengenai kata Islam terkait dengan ayat. Bahwa, kata Islam secara etimologis bermakna penyerahan diri (taslim) dan ketundukan (khudhu’). Namun, lebih penting dari itu adalah mencermati konteks penggunaan istilah tersebut (Islam) dalam Al-Quran. Bila merujuk kepada sejumlah himpunan ayat yang mencantumkan kata ‘Islam’ dan derivasinya, maka kita akan temukan maknanya hanya dalam tiga alternatif:
- Penciptaan
Makna Islam yang pertama kali digunakan Al-Quran adalah penyerahan diri (taslim) dalam makna ketundukan dan keterpengaruhan determinan makhluk terhadap tindakan Tuhan. Seperti ayat di bawah ini:
"Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah mereka dikembalikan (QS. Al Imran [3]: 83).
- Penyerahan dan kepasrahan kepada Allah Swt
Ungkapan istilah Islam dengan makna “penyerahan dan kepasrahan diri kepada Allah Swt” sangat banyak kita temui dalam Al-quran. Bahkan kata “Islam” yang dikemukakan para nabi sebelum Nabi Muhammad saw juga bermakna seperti itu.
- Agama Islam
Sejumlah ayat Al-Quran menegaskan bahwa makna semantik “Islam” bukan bermakna seluruh agama langit dan penyerahan diri kepada Allah Swt, melainkan syariat khusus yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw.
Misalnya ayat ini; "Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu" (QS. al-Maidah [5]: 3).
Ayat ini diwahyukan di Gadir Khum, walaupun banyak ikhtilaf menurut mufassirin. Dan ayat ini juga menyebut ajaran Muhammad saw sebagai agama Islam.
“Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Alkitab dan kepada orang-orang yang ummi, "Apakah kamu (mau) masuk Islam?" Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk” (QS. Al Imran [3]: 20).
Ayat ini menyeru kepada kaum Yahudi, Nasrani (yang dianggap oleh sebagian sebagai elemen Islam hakiki) dan musyrik, “Masuklah kalian pada agama Islam, agar pintu-pintu petunjuk terbuka bagi kalian.”
Selain itu, istilah Islam yang termaktub dalam ayat tersebut bukan sekedar bermakna penyerahan diri kepada Allah Swt, tetapi menerima agama Islam secara keseluruhan. Dalam pada itu, terdapat pula puluhan ayat lain yang mencantumkan kata “Islam” dalam makna sebagai syariat Islam.
Catatan Ketiga: Ayat yang mengatakan; “Innaddina ‘Indallahil Islam” (Sesungguhnya agama yang diridhai Allah hanyalah Islam), justru memperkuat islam sebagai Syariat. Karena secara leksikal, kata al-Islam dalam ayat tersebut diimbuhi awalan alif-lam marifah (elemen definitif), yang menunjukan bahwa maksudnya adalah agama Islam (terdidefinisi). Dan yang justru tampak dari kata al-Islam dalam ayat itu bukanlah penyerahan dan kepasrahan diri total, melainkan agama dan syariat khas Nabi Muhammad Saw, karena konteks (siyaq) ayat itu bermakna hashr (pengkhususan pada agama Islam).
Catatan Keempat: Kalimat ‘al-Islam’ dalam ayat yang tertulis dalam artikel bukan dalam bentuk nakirah (belum terdifinisi), karena ayat tersebut mengandung pengkhususan … dan maksud dari al-Islam adalah Islam Muhammadi.
Catatan Kelima: Dengan mempertimbangkan penggalan ayat sebelumnya. Jelasnya lagi, ayat sebelumnya akan mempertegas pemahaman pengkhususan (hashr) Islam dalam ayat tersebut hanya pada agama Nabi Muhammad Saw.
Dalam ayat sebelumnya, Allah Swt menjelaskan soal pengambilan sumpah dari umat terdahulu untuk mengikuti para nabi, termasuk Nabi Muhammad saw. Ayat ini juga mengecam Ahli Kitab lantaran menyangkal kenabian Muhammad saw sehingga dicap fasik.
Kemudian ayat-ayat lanjutan ayat ini pula yang, berdasarkan kesatuan dan relevansi di antaranya, mendefinisikan kata al-Islâm sebagai syariat Rasulullah saw. Karena, jika kata ini dimaknai secara umum sehingga mencakupi agama-agama lain, maka akan berkontradiksi dengan ayat-ayat sebelumnya. Dan bukan sebagaimana yang diklaim oleh Pak Agung Webe bahwa, ayat "_“Innaddina ‘Indallahil Islam” dapat kita selami menjadi “Sesungguhnya jalan yang diridhai Allah hanyalah berserah diri kepada Allah”_".
Catatan Keenam: Kendati permulaan ayat dengan sendirinya dapat menjadi mutlak dan mencakup makna umum Islam, sebagaimana yang pak Agung katakan dalam akhir artikel, namun kandungan ayat-ayat sesudahnya—khususnya pengulangan kata Islam dalam bentuk: Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapatkan petunjuk— merupakan penafsir dan pembatas makna di permulaan ayat tersebut. Kandungan ayat-ayat itu juga menjelaskan poin penting bahwa agama itu penyerahan diri secara total yang di setiap zaman, muncul dalam manifestasi tertentu. Umpama, di masa Nabi Muhammad saw, manifestasinya dalam bentuk keimanan dan penyerahan diri total terhadap syariat beliau.
Catatan Ketujuh: Berikut ayat sebelum dan sesudah dari ayat yang pak Agung penggal; "Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Alkitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya."
"Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah, "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku." Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Alkitab dan kepada orang-orang yang ummi, "Apakah kamu (mau) masuk Islam." Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya”. (QS. Ali Imran: 19-20)
Catatan Kedelapan: Hakikat Islam (bukan sebagai lembaga) adalah meliputi substansi berbagai agama, yaitu penyerahan diri secara murni (taslim mahdh/mutlak) kepada Allah Swt. Konsekuensi penyerahan ini adalah beriman kepada para utusan Tuhan pada setiap zaman. Bahwa agama Islam mengharuskan ketundukan manusia dan penyerahan diri secara penuh dan total kepada Sang Pencipta. Demikian catatan tak penting dari saya.
Sebagai catatan terakhir, kita meyakini bahwa Allah Swt menjelaskan tujuan penciptaan dengan memberi menunjukkan jalan yang lurus kepada manusia. Kemudian Dia juga mengingatkan bahwa dalam konteks ini, tidak ada unsur paksaan, “Dan kamu sekali- kali bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka”. (QS. Qaf [50]: 45).
Sebab, beragama adalah pilihan dan kebebasan individual. Setiap orang bebas memilih untuk beriman atau tidak beriman. Al-Quran berulang kali mengemukakan hal ini dengan beragam aksentuasi, seperti: “Dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah)”, (QS. Al Imran [3]: 20).
Beberapa rangkaian ayat tersebut mendeskripsikan tugas seorang rasul hanyalah menyampaikan risalah Ilahi kepada umat manusia, juga menekankan keimanan individu agar dilandasi kebebasan, kesadaran, dan argumentasi, bukan lewat kekuatan dan kekerasaan.
Dan yang perlu dipahami adalah, konsepsi ajaran di atas bukan khas Islam saja, melainkan juga diusung agama-agama sebelumnya. Umpama, Nabi Nuh as mengatakan pada kaumnya, “Bagaimana mungkin aku memaksakan agama pada kalian, sementara hati kalian membencinya. Apakah akan kami paksakan kamu menerimanya, padahal kamu tiada menyukainya?”, (QS. Hud [11]: 28).
Ternyata Islam memiliki sejumlah ayat yang menjelaskan bahwa agama harus disampaikan dengan cara benar, bukan lewat paksaan. Ini membuktikan Islam tidak menggunakan kekerasan terhadap seseorang dengan mengatakan, ‘Islam atau mati’. Wallahu A’lam.[Math Kahdhal El-Etthes]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H