Mohon tunggu...
Zero Dark
Zero Dark Mohon Tunggu... -

Anti celana ngatung dan celana kombor ala Taliban!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Apa Kabar Masyarakat Islamis?

4 Agustus 2012   22:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:14 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ungkapan “Masyarakat Islamis” barangkali menjadi istilah atau konsep yang begitu energik secara utopis, sekaligus sangat abu-abu secara terminologis. Jelasnya, sekalipun lincah dan bertenaga, pemahaman atau batasan tentang konsep tersebut seringkali berbaur dengan kenaifan imajiner penggagasnya —meminjam istilah al-Farabi—kota utama (al-madinah al-fadhilah) yang begitu damai, proporsional, dan aman sentosa.

Biasanya, dalam membayangkan atau menggagas konsep masyarakat agamis Islamis, kita cenderung menekankan superioritas religi di atas masyarakat. Maksudnya, masyarakat bila memang ingin disebut ideal, harus religius. Jadi, religi atau religiusitas menjadi leitmotif, setidaknya secara imajinatif, bagi terciptanya masyarakat etis yang dicitakan umat manusia. Selain itu, penggagasan konsep ini, umumnya tanpa disadari, selalu menyertakan hasrat mondialisme. Konsep masyarakat religius harus bersifat total dan mencakupi seluruh umat manusia—sekalipun dapat dirintis dari unit terkecil berupa individu-individu manusia. Tentu, ini sah-sah saja—bahkan menjadi sebuah imperatif rasional bila ditilik dari idealisme agama tentang pemerintahan akhir zaman.

Namun begitu, idealisme tentang masyarakat religius perlu diuji, didedah, dan diletakkan dalam figura kenyataan faktual dan partikular. Kalau tidak, kita sama saja dengan membiarkannya membusuk jadi seonggok dogma atau kobaran slogan belaka, meski terkesan penuh greget dan punya klaim-klaim universal. Atau meninggalkannya sebagai spekulasi filsafat an sich yang hanya cocok dibicarakan di negeri antah berantah. (untuk menghindari kesalahpahaman, perlu diungkapkan lebih dulu bahwa uraian di bawah ini bukan untuk menggusur ide-ide religiusitas--amit-amit, melainkan "belajar dari kesalahan dan kegagalan" pihak lain yang telah lebih dulu terpuruk ke jurang degradasi spiritual dan menjadi para pemuja hedon hal-hal material-fisik; yakni masyarakat Barat).

Siapapun tahu, di dunia yang kini bukan lagi sebesar daun kelor, melainkan sebesar layar kaca teve, banyak terdapat rumpun-rumpun agama. Kalau kita menggunakan kategori “agama kenabian” (prophetic religion) dan “agama mistis” (mystical religion), “agama samawi” (divine religion) dan “agama duniawi” (experimental religion), atau “agama ortodoks” dan “agama baru” (new age), maka di hadapan kita akan terhampar ribuan bahkan jutaan agama. Jangankan jenis agama, kategorinya saja sudah mencapai jumlah sedemikian.

Keberagaman nyata agama-agama ini (yang dalam idealisme Islam tentu saja tidak legitim) saja sudah menggugat utopia kita tentang masyarakat religius. Masyarakat religius macam apa yang mungkin di tengah pluralitas (bukan pluralisme) seperti itu? Malah, sebagian kalangan yakin, konflik atau disharmoni kehidupan dalam masyarakat salah satunya justru disebabkan oleh perbedaan dan sentimen religi. Jadi, menimbang keragaman itu, memprioritaskan religiusitas demi masyarakat yang dicitakan menjadi problematik. Mungkinkah mereduksi keragaman faktual tersebut dalam sebuah bagan idealitas sederhana tentang masyarakat religius yang Islamis?

Paling tidak, sebagai jalan keluar berikutnya, dimunculkan gagasan tentang dominasi paksa (bukan sukarela) agama tertentu atas agama lain yang dijadikan subordinannya (ahludzdzimmah). Lagi-lagi tilikan ini akan membentur tembok kenyataan yang konon paling tebal dan keras serta acap menenggelamkan sejarah dalam kubangan darah segar manusia (ingat kasus Perang Salib I-II). Apalagi dalam konteks kenyataan dewasa ini, di mana diferensiasi dan fragmentasi kehidupan sosial dalam seluruh bidangnya sudah mencapai titik paling kompleks dalam sejarah. Selain itu, konon, gagasan ini tidak sesuai dengan anjuran normatif agama itu sendiri, wabilkhusus, Islam (la ikrahafiddin).

Memang, sejarah Nabi saw sendiri membenarkan pandangan dominasi ini, yang diistilahkan marshall G. S. Hodgson dengan "Islamdom"; bahwa Islam harus tampil sebagai penguasa yang monolitik, sementara agama lain harus tunduk di bawah kuasa dan aturannya. Namun persoalan ini kiranya perlu disikapi ekstra hati-hati. Selain bukan ditempuh secara paksa, berbicara tentang dominasi agama tentunya tidak melulu bernuansa politik (sehingga hanya bertendensi pada kekuasaan per se) dan doktrinal. Melainkan juga perlu dilambari pemahaman teosofis. Sehingga, siapapun yang mempercayai sejarah monotik Islam bersifat universal tidak terjebak dalam pemahaman sempit tentang politik Islam, yang hakikatnya berporos pada konsep ketuhanan (al-wilayah). Wahabisme yang lazim menjadi lokomotif dari rangkaian gerbong “fundamentalisme” Islam kontemprer adalah contoh paling vulgar dari produk pemahaman sejarah dan politik Islam minus pemahaman ketuhanan. Entah bagaimana jadinya bila masyarakat religius yang dibayangkan, dihuni individu-individu berkedok Islam namun obskuran, barbar, dan berorientasi masa kuno semacam itu.

Biar begitu, sebagian kalangan, terutama yang bersikap sinis terhadap Islam, biasanya berusaha meneropong Islam bukan dari sudut “sejarah agama”, melainkan dari sudut “sejarah manusia”. Jadi, menurut kalangan ini, kita takkan pernah memahami agama secara kongkret bila tidak mengakui bahwa agama juga dipengaruhi manusia dan sejarahnya. Dengan begitu, sejarah yang kita lewati bukanlah sejarah agama anu dan anu, melainkan sejarah manusia, titik. Agama hanyalah salah satu dari sekian elemen sejarah dan kemanusiaan.

Sebagai contoh, Amin Maalouf, penulis Kristen asal Libanon. Dalam karyanya, In the Name of Identity (2002), ia terlihat sangat skeptis terhadap perspektif sejarah agama yang diklaimnya omong kosong dan tak punya daya penjelas seputar kehidupan dan masa depan umat manusia. Karenanya, ia mengusulkan untuk lebih menggunakan sudut pandang sejarah kemanusiaan.

Sebagai konsekuensi dari penggunaan sudut-tilik sejarah kemanusiaan ini, sejarah penguasaan Islam di zaman Nabi dan seterusnya, salah satunya, hanyalah menunjukkan bagaimana sosok atau institusi agama berusaha mendominasi selainnya secara politik dan militer. Tanpa mempedulikan apakah itu dilambari oleh motif, misalnya, kebenaran absolut dan tujuan suci—karena dianggap sebagai kasuistik dan subjektif belaka. Jejaring diskursus “kekerasan” yang dimaksudkan untuk menjerat fenomena apapun yang menyertai dominasi, kiranya dapat dipahami dari konteks ini.

Sebagian pihak lain, khususnya para humanis, malah berpandangan lebih ekstrem; agama seyogyanya dibingkai dalam figura humanisme yangmengusung tema-tema modern, seperti toleransi, hak-hak asasi, liberalisasi, demokrasi, dan sejenisnya. Sebab, menurut mereka, agama tak lain hanyalah produk dan fenomen kebudayaan manusia—paling tidak, sekalipun agama itu genuine keilahian, namun tetap terbuka dan niscaya dipengaruhi manusia dan sejarah. Nah, sebagai “produk kultural”, agamalah yang harus melayani kepentingan manusia, bukan sebaliknya. Dengan asumsi tersebut, kalangan ini percaya betul bahwa bila manusia yang melayani agama, apalagi dalam konteks fanatisme dan konservatisme, selain mengingkari watak agama yang terbuka dan kultural, juga sering menyulut konflik dan memberi ruang bagi dipraktikannya kekerasan atas nama agama.

Lalu, demi menyuplai amunisi diskursif terhadap pandangan humanisme tentang agama, sekaligus menghindarkan kekerasan atas nama agama—baik dalam konteks implikasi maupun kebingungan epistemiknya—digulirkanlah ide-ide software canggih perenialisme yang mengklaim the trancendet unity of religions (yang menggeliatkan ide-ide Pluralisme). Ide dasar perenialisme adalah bahwa secara filosofis, pengetahuan selalu ada dan akan selalu ada lantaran berkaitan dengan “pengetahuan” mengenai Yang Absolut (scientia sacra’ dalam tradisi Kristiani disebut Gnostik; dalam tradisi Islam, al-Hikmah).

Realisasi pengetahuan tersebut hanya bisa dicapai melalui apa yang disebut realisasi atas “intelek” (Roh), yang “jalannya” pun bisa ditempuh melalui tradisi-tradisi, ritus-ritus, simbol-simbol, dan sarana-sarana yang memang bersifat atau berasal dari yang Ilahi. Pengetahuan semacam itu ada dalam setiap tradisi religius yang otentik.

Kesimpulannya, semua agama-agama dalam sejarah pada dasarnya berporos dan bertujuan pada yang satu, yang Ilahi. Agama secara eksoteris memang beda, tapi esoterisnya tetap satu dan menuju yang satu (Tuhan); begitu kira-kira kredo perenialisme yang gayung bersambut dengan pluralisme. Dalam pada itu, tugas agama-agama bukanlah saling klaim kebenaran sehingga membiakkan ketegangan, konflik, dan kekerasan atas nama agama, tapi bagaimana memberi kontribusi nyata pada proses peradaban.

Lagi-lagi, ide modern ini begitu menawan sebagai otak-atik-otak, tapi nihil dan percuma dalam kenyataannya (dengan kata lain, ini adalah sebentuk reduksionisme agama). Sehingga yang lebih mengemuka darinya hanyalah sekadar intelektualisme atau intellectual exercise yang kemudian menciptakan klub eksklusif “pengajian” yang dianggotai segelintir cerdik cendekia dan akademisi religius metropolis, dengan penggembiranya, kalangan selebritis atau orang kaya perkotaan yang umum dijuluki elite without power.

Namun kalangan elite yang segelintir itu mencoba “mengelak” dengan menitiskan gagasan filosofisnya pada level praxis-sosiologis; lalu terbitlah gagasan masyarakat madani—yang cenderung berorientasi akademisme. Apakah konsep masyarakat religius merupakan memesis atau kelanjutan dari konsep masyarakat madani yang sekarang sudah senyap dalam perhelatan wacana, belum terlalu jelas. Namun, yang terang, masyarakat madani mendasarkan konsepnya pada kanon-kanon keislaman klasik dan historis; dengan bubuhan perspektif modern yang, dicurigai, cenderung kebarat-baratan. Lebih lagi, konsep masyarakat Madani, sebagaimana gagasan sumbernya, cenderung berwatak elitisme dan intelektualisme sehingga sangat tidak populis. Pengalaman selama ini memang membuktikannya.

Bertolak dari seluruh paparan yang dikemukakan diatas, mendamba terciptanya masyarakat religius, agamis dan Islamis, khususnya yang bersifat universal, menjadi problematik dan menghadapi tantangan super berat dan menempuh jalan panjang berliku. Dalam pada itu, setidaknya, ikhtiar mengonstruksi masyarakat religius akan nihil dan kontraproduktif bila kita:

Pertama, bertolak dari bagan biner; religius versus sekular. Sebab, sekularisme dari sononya, memang punya sejarah dan kompleksitas pemahaman sedemikian rupa yang tidak bisa begitu saja direduksi ke dalam sebuah bagan penjelasan sederhana.

Kedua, mengalahkan pihak lawan “di atas kertas”, alias tidak berupaya memahami siapa dan apa sebetulnya momok yang kita hadapi pada level kenyataan. Kita hanya marah-marah dan mencoba mencari kelemahan partikular atau parsial lawan, tanpa pernah bersikap empati terhadapnya dan mencoba memahaminya secara relatif menyeluruh. Apalagi mengingat, dalam kasus ini, sekularisme bukan “anak kemarin sore”, alias telah menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan seluruh lapisan masyarakat Barat.

Ketiga, tidak melakukan eksplorasi mendalam terhadap kemungkinan-kemungkinan faktual seputar keniscayaan religiusitas menjadi atmosfer yang menyelimuti realitas kehidupan masyarakat.

Keempat, mengontraskan idea pemerintahan agama di satu sisi, dan masyarakat religius di sisi lain. Di tingkat ide, saya pikir, keduanya niscaya berjalan seiring. Barangkali skala diametrik ini bukan dimaksudkan sebagai superposisional (saling meniadakan) dan hanya sekadar mengagendakan skala prioritas. Namun begitu, tak tertutup kemungkinan pula dalam kenyataannya, misal, bila kelak terjelma masyarakat religius, pemerintahan agama justru ditolak dan dimusuhi ramai-ramai (sehingga menjadi masyarakat religius-Budhisme). Atau sebaliknya, pemerintahan agama lebih dipriotitaskan dan terwujud, namun religiusitas dalam pengertian spiritualisme dicibir dan dicap bidah (kasus Talibanisme dan moyangnya, Wahabisme).

Penekanan terhadap subjek (sosok religius purna) seyogianya prior vis-a-vis konsep separipurna apapun—inilah yang saya pribadi yakini bahwa Islam pada dasarnya lebih sebagai agama subjek atau sosok dalam konteks ketundukkan dan kepengikutan, ketimbang agama konsep. Bedanya dengan Barat, seyogianya kaum Muslim tidak mensubjekkan masyarakat yang anonim, melainkan sosok individu. Wallahu a’lam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun