Pendahuluan
Pemilu di Indonesia selalu menjadi momen yang penuh dengan dinamika politik. Seiring dengan berkembangnya berbagai isu sosial dan budaya, muncul fenomena yang menarik perhatian: politik identitas. Politik identitas merujuk pada cara-cara politik yang menggunakan identitas sosial tertentu, seperti agama, etnis, atau kelompok sosial lainnya, untuk memperoleh dukungan. Dalam konteks pemilu di Indonesia, strategi ini seringkali mengarah pada polarisasi sosial yang dapat mempengaruhi stabilitas sosial. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh politik identitas dalam pemilu terhadap stabilitas sosial di Indonesia, dengan mengevaluasi dampak yang ditimbulkan dan mencari solusi untuk mencegah perpecahan lebih lanjut dalam masyarakat.Â
Pembahasan
Politik identitas telah menjadi salah satu instrumen penting dalam kontestasi politik di Indonesia. Hal ini terlihat jelas dalam beberapa pemilu terakhir, di mana calon-calon politik cenderung memanfaatkan identitas agama, suku, atau golongan untuk menarik perhatian pemilih. Salah satu contoh yang paling mencolok adalah Pemilu 2019, di mana isu agama dan etnis menjadi komoditas politik yang sangat kuat. Polarisasi yang terjadi antara kelompok pendukung calon tertentu dengan kelompok lainnya menciptakan ketegangan yang tidak hanya terlihat dalam arena politik, tetapi juga merembet ke masyarakat secara luas.
Politik identitas sering kali dimanfaatkan untuk menciptakan "kami vs mereka," yang berujung pada konflik sosial. Misalnya, politisi yang menggiring isu agama atau etnis sebagai identitas yang dominan sering memanfaatkan ketegangan ini untuk memperoleh dukungan mayoritas, sementara kelompok minoritas sering terpinggirkan. Hal ini menyebabkan rasa ketidakadilan di kalangan kelompok yang merasa tidak diperhatikan, yang pada gilirannya dapat mengganggu harmoni sosial. Ketidaksetaraan ini bisa memicu kerusuhan sosial atau bahkan kekerasan politik, seperti yang terjadi dalam beberapa kasus pasca-pemilu.
Dari segi data, beberapa studi menunjukkan bahwa penggunaan politik identitas dalam pemilu tidak hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, tetapi juga meningkatkan ketegangan antara kelompok sosial yang berbeda. Misalnya, dalam Survei LSI (Lembaga Survei Indonesia), ditemukan bahwa sekitar 40% pemilih menyatakan bahwa isu agama dan identitas lainnya memainkan peran yang sangat besar dalam menentukan pilihan mereka. Hal ini menciptakan semacam "tribalisme politik" yang sulit untuk diatasi, karena identitas yang dibangun sangat kuat dan sulit untuk disatukan.
Namun, dampak negatif dari politik identitas tidak hanya terbatas pada polarisasi sosial. Dalam jangka panjang, hal ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Ketika politik lebih fokus pada pembagian masyarakat daripada pada isu-isu substantif, seperti kesejahteraan sosial atau ekonomi, maka kualitas demokrasi akan menurun. Masyarakat mulai merasa bahwa pilihan politik mereka lebih dipengaruhi oleh faktor identitas ketimbang kualitas calon pemimpin yang ditawarkan.
Di sisi lain, politik identitas juga dapat dilihat sebagai suatu bentuk ketidakmampuan sistem politik untuk merespon kebutuhan sosial yang lebih inklusif. Masyarakat yang beragam, baik dari segi agama, etnis, atau budaya, sering kali merasa terabaikan dalam narasi politik yang lebih bersifat homogen. Hal ini menciptakan kesenjangan dalam representasi politik yang akhirnya mendorong individu untuk mengidentifikasikan diri mereka dengan kelompok yang lebih kecil yang dirasa lebih "mewakili" mereka.
KesimpulanÂ
Berdasarkan analisis yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa politik identitas dalam pemilu di Indonesia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap stabilitas sosial. Pola politik yang berfokus pada identitas dapat memperburuk polarisasi sosial, meningkatkan ketegangan antar kelompok, dan merusak rasa persatuan di masyarakat. Meskipun demikian, politik identitas juga mencerminkan adanya kebutuhan untuk lebih memperhatikan keberagaman sosial yang ada.