Mohon tunggu...
fazafarsyafat
fazafarsyafat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Kolot

Mahasiswa Teknik yang selalu beralasan tidak lulus kuliah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Relasi Gender: Membongkar Perspektif Cerminan Diri

23 Desember 2024   14:44 Diperbarui: 23 Desember 2024   14:44 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Narasi bahwa "cewek independen banyak, cowok mapan sedikit" telah menjadi isu populer yang sering diperbincangkan di berbagai forum publik, terutama media sosial. Ungkapan ini tidak hanya mencerminkan keresahan sosial terhadap perubahan peran gender, tetapi juga membawa asumsi yang sering kali bias dan tidak tepat dalam memahami konsep pasangan hidup. Salah satu bias tersebut adalah pandangan bahwa pasangan hidup adalah "cerminan diri" dalam arti literal, yang dinilai hanya berdasarkan hasil akhir pertemuan, bukan dari proses kehidupan yang dijalani masing-masing individu. Padahal, konsep cerminan diri yang sesungguhnya terletak pada proses keseharian, perjuangan, dan usaha individu dalam memperbaiki diri, bukan hanya pada hasil instan saat seseorang bertemu dengan pasangannya.

Pandangan bahwa pasangan hidup adalah refleksi instan sering kali didasarkan pada interpretasi yang terlalu sempit terhadap nilai-nilai agama dan norma sosial. Surat An-Nur ayat 26, yang berbunyi, "Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula," sering kali digunakan untuk mendukung pandangan ini. Namun, jika ditelaah lebih dalam, ayat ini tidak berbicara secara eksklusif tentang kesesuaian langsung antara dua individu sebagai hasil akhir, melainkan menekankan pentingnya kualitas diri yang dibentuk melalui proses. Kebaikan seorang individu bukanlah sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba, melainkan hasil dari perjalanan panjang yang melibatkan pembelajaran, introspeksi, dan kesadaran akan tanggung jawab personal. Dalam konteks ini, pasangan hidup bukanlah cerminan statis diri kita, tetapi hasil dari proses yang berjalan dinamis.

Lebih jauh lagi, Surat An-Nisa ayat 34 juga memberikan perspektif penting tentang dinamika hubungan suami istri. Ayat ini menyebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita karena tanggung jawabnya dalam menjaga dan menafkahi. Namun, kepemimpinan ini tidak serta-merta menunjukkan keunggulan mutlak laki-laki atas perempuan. Ayat ini lebih berbicara tentang harmoni dalam pembagian peran, di mana laki-laki dan perempuan saling melengkapi berdasarkan potensi dan tanggung jawab mereka masing-masing. Harmoni ini hanya dapat tercapai jika kedua pihak menyadari pentingnya proses saling mendukung dan saling memahami, bukan melalui kesesuaian mutlak yang terwujud secara instan.

Membatasi konsep pasangan hidup hanya sebagai "cerminan diri" dalam pengertian literal juga mengabaikan realitas kompleks dalam hubungan manusia. Banyak hubungan yang justru berkembang melalui perbedaan yang ada di antara pasangan. Dalam kerangka ini, pasangan bukan hanya tentang mencocokkan dua individu yang identik, tetapi tentang membangun kemitraan yang kuat berdasarkan perbedaan dan keinginan untuk saling melengkapi. Mengasumsikan bahwa pasangan hidup harus selalu sesuai dengan kualitas pribadi kita adalah pandangan yang tidak hanya simplistis, tetapi juga tidak adil. Pandangan ini mengesampingkan fakta bahwa banyak hubungan yang dibangun melalui kerja keras, komunikasi, dan komitmen, bukan sekadar kesesuaian instan.

Selain itu, narasi tentang "cewek independen banyak, cowok mapan sedikit" juga menyiratkan anggapan bahwa standar kesuksesan laki-laki dan perempuan dapat diukur dengan parameter yang seragam. Padahal, kemandirian seorang perempuan tidak selalu harus disejajarkan dengan kemapanan materi seorang laki-laki. Perubahan sosial telah memungkinkan perempuan untuk membangun kehidupan yang lebih otonom, sementara laki-laki juga mulai menjelajahi peran baru yang melampaui sekadar pencari nafkah.

Penting untuk memahami bahwa kehidupan pasangan tidak hanya ditentukan oleh hasil akhir pertemuan, tetapi juga oleh proses panjang yang melibatkan perjuangan, doa, dan refleksi diri. Cerminan diri yang sejati tidak terjadi pada saat seseorang bertemu pasangannya, tetapi dalam perjalanan keseharian yang mencerminkan nilai-nilai yang mereka anut dan perjuangan mereka untuk memperbaiki diri. Pandangan ini memberikan ruang yang lebih luas untuk menerima keragaman pengalaman dan dinamika hubungan manusia, yang tidak dapat disederhanakan hanya melalui narasi "cocok atau tidak cocok."

Pada akhirnya, hubungan yang sehat dan bermakna adalah hubungan yang dibangun melalui kerja sama, bukan melalui kesesuaian mutlak. Narasi tentang "cewek independen dan cowok mapan" perlu di dekonstruksi agar tidak menjadi beban sosial yang mengkotak-kotakkan peran gender dan mengabaikan kompleksitas hubungan manusia. Jodoh, dalam pandangan agama maupun realitas sosial, adalah bagian dari takdir yang melibatkan usaha, doa, dan keikhlasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun