Siang itu ku bergegas menuju Syu'un Tullab (Kantor Akademik) Fakultas Lugah Arabiyah, salah satu Fakultas yang dianggap "angker" oleh para Mahasiswa Al Azhar khususnya pelajar asing. Kabarnya nilai sudah bisa dicek walau belum sempat ditempel. Panasnya terik matahari tak menghalangiku tuk terus melangkahkan kaki menuju Kampus tercinta. Walau belum yakin seratus persen lulus dan dengan hati yang terus deg-degan ku tetap maju melangkah. Lama kutunggu satu-satunya mobil umum yang langsung menuju kampusku, 80 coret. Sekitar setengah jam akhirnya mobilpun datang dan dengan cepat melaju menuju terminal terakhir, Darosah. Bergegas ku loncat menuju Kampus coklat penuh sejarah itu tuk segera melihat hasil kerja kerasku satu tahun ini.
Siang itu ku berdiri sambil bersandar ditiang besi yang mulai berkarat. Setelah mengecek nilai ujian tahun ini, ku mulai rehat sejenak. Alhamdulillah, walau tak sesuai target awal tapi ku harus tetap bersyukur dan dapat memperbaikinya lagi di tahun-tahun selanjutnya.
"Yang penting bisanaik tingkat dulu deh", gumamku dalam hati.
Tak lama ku bersandar ternyata para Mahasiswa sudah berdesak-desakan memadatiSyu'un Tullab (Kantor Akademik), memang sampai hari ini nilai belum sempat ditempel. Tak ayal hal itu membuat para Mahasiswa rela berdesakan antri sekedar menanyakan predikat mereka tahun ini.
Terlihat berbagai ekspersi terpancar setelah mengetahui hasil ujian tahun ini. Teman satu grup belajarku mulai maju. Seorang Kosovo yang memiliki semangat baja. Ku lihat wajahnya pucat pasi, ternyata memang dia harus mengulang lagi tahun depan karena ia gagal pada tiga mata pelajaran, menurut peraturan Al Azhar seorang Mahasiswa yang ingin naik tingkat selanjutnya tidak boleh gagal lebih dari dua mata pelajaran. Anehnya sesaat setelah itu bibirnya mulai tersenyum ria. Entah apa yang ia pikirkan tapi yang jelas ia terlihat semangat dan tetap berusaha tegak walau harus menghadapi badai yang sedang berusaha merobohkan semangat juangnya.
Hati ini gundah rasanya. Melihat teman satu perjuangan yang harus puas duduk di tingkat yang sama tahun depan. Tapi perasaan itu langsung sirna tatkala ku lihat seyumnya yang mulai merekah. Sahabat satuku ini memang seorang pejuang tangguh, tak kenal pesimis walau dalam keadaan kritis. Baginya kegagalan bukanlah akhir dari sebuah perjuangan, sabar dan terus berusaha karena kesuksesan sudah setia menanti kita di gerbang sana. Jemputlah ia dengan segenap usaha dan kerja keras. Bukankah sesudah kesulitan akan datang sebuah kemudahan, layaknya sebuah panorama indah di atas gunung yang akan kita jumpai setelah bersusah payah mendaki tebing yang menjulang tinggi serta tikungan yang berkelak-kelok.
Aku teringat pada kata-katanya yang super:Â "Orang sukses bukanlah orang yang tak pernah gagal tapi seorang gagal yang terus bangkit lebih tegak melangkahkan kaki walau ia harus jatuh pada keseribu kali kegagalan. Jangan kau tanya berapa banyak kesuksesan yang diraih orang-orang sukses tapi tanyakanlah berapa ribu kali mereka harus bangkit dari kegagalan."
Ekspresi berbeda ku lihat dari teman Mesirku, dengan pakaian Jalabiah (Jubah) dan celana yang sedikit ngatung serta peci putih di kepala, ia mulai maju menanyakan hasil ujiannya, ternyata benar dugaanku, dia menjadapat predikat Imtiyaz (Istimewa). Ia berusaha keluar dari barisan, seketika Ammu Hammadahpun memanggilnya,
"Alfu Mabruk, Fein Halawah Yabni?[2].
Sebuah ucapan selamat yang diungkapkan orang Mesir pada orang yang telah sukses sambil sedikit meminta imbalan jasa. Ia hanya memberikan senyuman manisnya pada sang Ammu[3] dan kemudian pergi.