‘’Good moorning!”, sapaku pada murid-murid di SD GMIST Yobel Lamanggo, Biaro, Kepulauan Sitaro Sulawesi Utara pada awal September 2013 lalu saat pertama kali berhadapan dengan murid-murid di pulau ini. Suasana hening, tidak ada jawaban dari mereka seperti yang biasa aku temui saat mengajar di tempat asalku, Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
[caption id="attachment_299359" align="aligncenter" width="647" caption="Saya berfoto bersama murid-murid di Pantai Bira, Biaro, Sulawesi Utara"][/caption]
Aku mengerti mereka masih bingung, kemudian aku menjelaskan, bahwa itu adalah sapaan dalam bahasa Inggris yang artinya adalah selamat pagi. “Bahasa Inggris itu apa Bu Guru?” Tanya salah satu dari mereka dengan lantang.
Aku sedikit bingung menjawab pertanyaan mereka, namun aku berusaha menjelaskan dengan sederhana. “Bahasa Inggris adalah bahasa Internasional. Asalnya dari negara di Eropa,” jawabku. “Apa itu orang-orang yang rambutnya kuning Bu?” Tanya mereka lagi dengan lugunya. “Ya! Mereka berambut kuning,” jawabku sambil tersenyum.
Sangat aku pahami bahwa ketidak tahuan mereka akan bahasa Inggris bukan merupakan hal yang di buat-buat. Biaro merupakan pulau tertinggal, listrik menyala hanya 12 jam dalam sehari, itupun kalau kapal yang membawa bahan bakar lancar, kalau tidak lancar biasanya hanya 6 jam sehari.
Orang tua masih menganggap pendidikan bukan hal yang utama, mereka lebih senang anak-anaknya membantu di kebun atau menjadi nelayan. Sedangkan sekolah hanya untuk mengisi waktu agar mereka tidak menghabiskan banyak waktunya untuk bermain. Kepulauan Sitaro adalah kumpulan tiga nama pulau yang paling besar diantara 47 pulau yang ada di kepulauan ini. Tiga pulau tersebut adalah Siau, Tagulandang dan Biaro. Diantara ketiganya, Siau adalah pulau terbesar kemudian disusul oleh Tagulandang dan Biaro, pulau yang aku tempati sebagai peserta program pemerintah Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM3T). Berasal dari daerah yang semuanya tersedia dan ramai dengan riuhnya teknologi dan fasilitas yang memadai, membuat keberadaanku di pulau ini cukup mengasah mental dan keberanian. Pulau yang masih rimbun, tidak hanya ancaman alam seperti badai dan cuaca buruk yang setiap saat bisa mengancam, tapi juga hal-hal yang kadang tidak bisa kita jangkau dengan pikiran kita seperti hantu atau hal-hal magis di sini. Namun hal itu berusaha aku kesampingkan karena niatku di sini adalah tulus untuk memberikan pengetahuan pada murid-muridku.
Berbekal ilmu yang aku dapatkan selama kuliah di jurusan pendidikan bahasa Inggris Universitas Negeri Malang (UM) hal pertama yang aku lakukan adalah berusaha membuat mereka senang belajar bahasa Inggris. Gambar adalah media yang aku gunakan agar mereka tertarik. Beruntung ada Lili Andari, teman seperjuangan yang merupakan lulusan Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Malang yang tekun mengajariku teknik-teknik menggambar. “Dengan gambar anak-anak bisa menjadi lebih antusias dan tertarik memahami apa yang kita sampaikan,” tutur guru muda asal Tulungagung ini.
Meski antusias dengan gambar-gambar sederhana yang aku beri keterangan dalam bahasa Inggris, aku rasa hal itu tidak cukup. Aku memanfaatkan alam untuk lebih mendekatkan mereka dengan bahasa Inggris. Ada jam khusus diantara jam aktif pelajaran yang aku gunakan untuk ke pantai. Aku berpikir mereka akan lebih mudah menghafal kata-kata atau bahkan membuat kalimat saat berinteraksi langsung dengan keseharian mereka yang senang bermain di pantai Bira, pantai yang menurutku sangat indah.
Kalau mereka bisa sangat tangguh berenang dan bergulung dengan ombak di pantai seperti iklan Kratingdaeng yang selalu menawarkan semangat dan energi untuk menaklukkan hal berat sekalipun aku juga yakin didikan alam juga akan sangat berperan mengajarkan mereka bahasa Inggris. “It is sea shell. It is on the sands,” kata salah seorang muridku dengan sedikit gagap saat mencoba mengartikan apa yang ia lihat dalam bahasa Inggris.
Aku seperti menyaksikan hal sangat kontras bila melihat Biaro memiliki pantai yang indah sedangkan kenyataannya kondisi masyarakatnya cukup tertinggal. Pantai Bira misalnya, keindahannya cukup layak untuk dikunjungi wisatawan asing sekalipun. Sayang sekali banyak yang tidak mengenal pulau ini, masyarakatnya juga tidak banyak yang bergerak keluar kemudian kembali dengan membawa perubahan. Di pantai-pantai lain di berbagai penjuru Indonesia, pantai kerap menjadi penyumbang pendapatan daerah. Tak jarang keberadaanya membawa dampak signifikan terhadap kondisi masyarakat. Seperti pantai Balekambang atau Sendang Biru di daerahku, selain menjadi nelayan banyak alternatif pekerjaan yang bisa didapat, seperti menjual souvenir, makanan atau bahkan penginapan.
Aku coba menanamkan pada murid-muridku tentang mimpi yang bisa diraih.Menapakinya menjadi hal yang nyata kemudian menggenggamnya erat-erat. Namun demikian Tak terasa 2013 akan segera berlalu, sudah 4 bulan aku berada di sini. Berdasarkan program yang aku ikuti, keberadaanku disini hanya sampai Agustus 2014 mendatang, waktu yang sangat singkat untuk mengantarkan mereka memetik mimpi untuk pulau kecilnya ini. Berada di sini bukan hal yang kebetulan, aku percaya semuanya semua atas skenario dari Sang Kuasa. “Mereka harus bisa keluar dari zona Biaro,” itulah yang terselip di benakku tiap kali mengajar dan berada di depan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H