Novel Kehingan Mestika merupakan karya dari seorang pengarang wanita Indonesia pada tahun 1920-an yaitu Hamidah atau Fatimah H. Novel ini mengangkat kisah kehidupan seorang perempuan yang selalu bekerja keras, tangguh untuk memperjuangkan hak-hak kaumnya, dan pelopor kebebasan perempuan dari adat istiadatnya daerahnya serta selalu kehilangan pria yang dicintainya yang menimbulkan konflik batin yang mendalam pada diri tokoh utama, Hamidah.
Kehilangan Mestika bertutur secara linier, hanya lurus kedepan meskipun pada awal cerita Hamidah melakukan flashback, mengenai peruntungan hidup yang diperoleh Hamidah dalam perjalanan hidupnya yang kemudian cerita dilanjutkan ketika Hamidah berumur 4 tahun. Setalah besar, Hamidah melanjutkan pendidikannya ke sekolah Normal Putri di Padang Panjang. Setelah itu Hamidah bertemu Ridhan di kampung halamannya namun hubungan mereka tidak dapat direstui oleh paman Ridhan karena Hamidah dianggap telah melanggar adat istiadat. Tak lama Ridhan meninggal karena perbuatan pamannya sendiri. Setelah itu Hamidah kembali ke Mentok dengan keadaan sakit, namun ia bertemu Idrus yang membuat semangatnya tumbuh lagi. Tetapi setelah ayahnya meninggal, Hamidah tinggal di Jakarta bersama saudaranya kemudian Hamidah dijodohkan dengan Rusli. Setelah 10 tahun menikah mereka tidak dikaruniai anak, maka mereka pun bercerai. Kemudian Hamidah kembali ke Mentok dengan keremukan hati yang tiada terkira bahwa Idrus meninggal setelah mengalami sakit keras dan Hamidah tidak pernah menikah lagi sampai menemui ajalnya.
Hamidah menceritakan novel Kehilangan Mestika dengan sudut pandang orang pertama karena pada keseluruhan cerita, pengarang seolah-oleh bercerita mengenai dirinya sendiri dengan penggunaan kata “aku” pada penyebutan tokoh utamanya. Hamidah mencoba menghadirkan terobosan baru pada saat itu karena dengan menggunakan sudut pandang orang pertama, namun Kehilangan Mestika ini dinyatakan kurang berhasil karena tidak dapat menceritakan tokoh-tokoh yang lainnya sehingga para pembaca masih penasaran apa yang dilakukan oleh tokoh yang lainnya.
Dalam Kehilangan Mestika latar cerita yang dipakai adalah Minangkabau, Sumatra Barat. Kultur yang terjadi pada Minangkabau merupakan suatu adat yang unik karena terdapat paham matrilinier yaitu peranan dan kedudukan wanita menjadi penting di dalam kehidupan masyarkat Minangkabau. Hal ini sangat bertolak belakang pada novel Kehilangan Mestika yang mengangkat dampat pandangan hidup modern di kalangan anak muda saat itu. ada semacam kesengganan untuk menerima gadis modern ini dalam pergaulan dengan wanita tradisional. Hamidah pada tokoh Kehilangan Mestika digambarkan sebagai seorang perempuan modern yang berpendidikan tinggi,
Akan diriku bersama dengan seorang saudaraku yang lain, meneruskan pelajaran kami ke sekolah Normal Putri di Padang Panjang. (Hamidah, 2011: 2)
Kemudian pemikiran modern Hamidah yaitu ketika dia membangun perkumpulan anak-anak dan gadis-gadis di daerahnya untuk belajar membaca dan menulis. Dalam kutipan,
Anak-anak ini nanti tentunya akan menjadi ibu yang lebih sempurna dari mereka dan akan lebih banyak berjasa kepada tanah air dan bangsanya. Hal ini yang mendorongku akan mendirikan sebuah perkumpulan bagi kaum ibu.... Dengan demikian sesudah bersusah payah bukan sedikit dapatlah kami dirikan sebuah perkumpulan yang mempunyai anggota tak lebih tak kurang dari sepuluh orang. (Hamidah, 2011: 20)
Hal ini menunjukkan bahwa Hamidah bersusah payah untuk memajukan membaca dan menulis di daerahnya demi menciptakan anak-anak yang lebih baik dari pada ibunya.
Hamidah pun tidak menjalankan adat pingitan yang menjadi kebiasaan gadis-gadis di daerahnya. Hal ini terbukti dengan kegemarannya plesiran ke suatu tempat,
Karena di negeriku akulah pertama sekali membuka pintu pingitan bagi gadis-gadis, maka bermacamlah cacian yang sampai ke telinga kaum keluargaku.... Tak tahu mereka membedakan yang mana dikatakan adat dan mana pula agama. (Hamidah, 2011: 18)
Kebanyakan daripada adat yang diadatkan disangkakan mereka sebagian juga daripada syarat agama. Gadis-gadis mesti dipingit tak boleh kelihatan oleh orang yang bukan sekeluarga lebih-lebih laki-laki. Adat inilah yang lebih dahulu mesti diperangi. Inilah yang kucita-citakan. Aku ingin melihat saudara-saudaraku senegeri berkeadaan seperti saudara-saudaraku di tanah Jawa. (Hamidah, 2011: 18)
Hal ini membuktikan bahwa Hamidah mengajak teman-temannya agar tidak dipingit karena setiap orang mempunyai kebebasan yang sama seperti halnya di tanah Jawa yang memiliki kebebasan.
Hamidah merupakan seorang gadis yang mandiri, terbukti ketika ia mendapatkan tawaran bekerja dari Perguruan Partikulir di Palembang. Hal ini bertolak belakang dengan adat Minangkabau karena adat istiadat di daerahnya tidak memperbolehkan seorang perempuan mencari nafkah sendiri terlebih di negeri orang.
Kaum keluarga tak seorang pun yang menyetujui. Disuruhnya aku minta berhenti, sebab kata mereka masakan aku akan mati kelaparansekiranya aku tak memegang pekerjaan. Lagi pula mereka takut mendapat hinaan dari orang kampung kami membiarkan seorang gadis mencar nafkahnya di rantau orang. (Hamidah, 2011: 21)
Namun karena Hamidah ingin mandiri maka permintaan dari sanak saudaranya tidak di ikuti Hamidah dan diambillah tawaran pekerjaan tersebut.
Permintaan mereka itu tentu saja tidak kuturuti, sebab pertama memang keinginanku hendak bekerja dan kedua bapakku tak keberatan. (Hamidah, 2011: 21)
Jadi Hamidah ingin menonjolkan peran wanita dalam adat Minangkabau yang terdapat batasan-batasan di dalam adat istiadatnya. Maka Hamidah mengidentifikasi tokoh utamannya menjadi seorang wanita yang mandiri, perubahan pingitan, pemikiran modern untuk menulis dan membaca serta sebagai perempuan yang berpendidikan tinggi yang menjadikan sikapnya modern sesuai zamannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H