SADARLAH NEGRIKU!!
Jakarta.
“Hilangkan nepotisme! Hilangkan nepotisme! Hilangkan korupsi! Hilangkan korupsi! Hilangkan…..” Suara-suara demonstran yang mencapai seratus lebih itu makin keras. Para polisi pengaman mulai mengamankan keadaan. Namun saat polisi bersikap keras, para demonstran itu makin berontak dan bersikukuh mendemo para pejabat yang tidak jujur.
Para wartawan tiap televisi saling berebut untuk meliput peristiwa demo di depan gedung DPR Jakarta yang semakin tidak terkendali. Para reporter berita mencatat, merekam, bahkan memvideo respon para perjabat yang akhirnya harus keluar dari gedung untuk menenangkan suasana.
Hari semakin membakar karena surya semakin membara ikut menghiasi suasana kala itu seolah mendukung para demonstran tersebut. Para demonstran yang hampir semua dari kalangan masyarakat bawah itu seolah tidak merasakan lelah dan kepanasan. Mereka menuntut hak mereka sebagai warga Negara Indonesia yang wajib diperhatikan, bukan ditindas dengan korupsi, nepotisme dan lain sebagainya.
Peristiwa demo itu semakin menjadi. Dan beberapa belas mobil polisi datang…
***
Kelas XI IPA SMA SwastaPandawa Jakarta..
“Anak-anak, silahkan kumpulkan tugas kalian ke depan, Ibu akan memanggil siapa yang pertama tugasnya Ibu ambil untuk dibaca di depan kelas.” Kalimat yang terlisan dari Ibu guru bahasa Indonesia membuat suasana kelas menjadi riuh. Seketika berubah menjadi sunyi saat seseorang dipanggil untuk maju ke depan.
“Safa… silahkan maju ke depan dan bacakan puisimu!” Panggil Ibu Rina dengan hiasan senyum di bibirnya.
Safa bergegas maju kemudian mulai membaca judulnya, lalu seantero kelas sepi menyimak puisi yang dibaca Safa.
SADARLAHNEGRIKU!!
66 tahun kita merdeka
Setelah beradabd-abad dalam cengkraman penjajah
Derita dan siksa yang terus menimpa
Membabi buta menusuk sukma yang penuh luka
Kemana engkau saat itu??
Semua kini telah berlalu
Seiring waktu yang terus melaju
Dengan semangat yang menyatu padu
Menyapu nista hingga tak bersisa debu
Biarlah sejarah yang mengukir
Walau harus ditebus dengan
Darah-darah yang mengalir dari jiwa para pahlawan
Jiwa-jiwa yang ingin kebebasan
Negriku…
Bahagiakah engkau saat ini??
Terbebas dari belenggu para kompeni
Bolehlah kini kau tersenyum
Berpesta pora merayakan kemenangan
Hingga terhanyut dalam kehampaan
Tapi,,, pertiwi masih menangis…
Apa kau yakin, kita benar-benar merdeka??
Tengoklah dibelakang sana..
Banyak gelandang bertelanjang dada
Gubuk yang silih bertindih
Di lahan yang penuh sesak
Lihatlah negriku…
Pantaskah ini disebut merdeka??
Mereka masih terjajah negriku…
Dan,, tengoklah di penghujung sana…
Pejabat yang gila harta dan bergelimang kemewahan
Pejabat itulah penjilat Negara
Yang tega menjajah negri kita…
Sadarlah negriku…
Gali semangat baja di masa dulu
Bangun tunas bangsamu
Agar bumi pertiwi tak lagi sendu…
Ulurkan tanganmu..
Pegang erat wargamu..
Kembali tuk bersatu...
Membangun Indonesia yang lebih maju!!
Riuh tepuk tangan seisi kelas semakin membuncah. Sebagian besar mereka terbawa suasana. Ada diantara mereka termasuk Safa sendiri meneteskan air mata. Indonesia adalah satu, turut merasakan kepedihan sesama.
***
“Nak, maafkan Bapak, Bapak tidak mendapatkan uang hari ini. Makanan sisa tadi malam masih ada? Biarlah adikmu yang makan, Bapak harap kamu bersabar.” Senyum seorang bapak yang bersama kedua anaknya itu tersenyum yang terlihat dipaksakan.
“Bapak, Safa Insya Allah bisa puasa, biarlah makanan tadi malam buat Syifa. Tapi Bapak bagaimana?” Terlihat air mata yang dipaksa ditahan agar tidak keluar dari perbatasan.
“Bapak baik-baik saja Nak. Jangan khawatir…” Senyum itu tidak hilang dari bibir bapak Safa. “Sebentar lagi Bapak pergi lagi mencari barang bekas. Insya Allah ada..”
Safa dan Syifa hanya tinggal bersama seorang bapak. Ibunya baru saja meninggal satu bulan yang lalu saat melahirkan anak ketiganya yang ikut meninggal saat itu juga. Rumah dan warung kecil-kecilan yang mereka punya sudah tidak ada lagi. Rumah-rumah di daerahmereka digusur untuk dijadikan hotel bintang lima oleh para pejabat rakus.
Bapak Safa kini bekerja sebagai tukang rongsokan. Mereka tinggal di pemukiman kumuh yang sebenarnya sudah tidak layak lagi untuk ditempati. Safa dilarang berhenti dari sekolah oleh bapaknya. Safa adalah anak yang cerdas dan baik hati. Setelah pengajuan beasiswanya diterima, Safa menjadi lebih rajin dalam belajar.
‘Aku ingin menjadi seorang pengacara yang adil.’ Tekad Safa terpancang kuat dalam dadanya.
***
“Pa, kapan proyek pembangunan hotel Papa dimulai? Mama ingin anak semata wayang kita turut serta dalam proyek itu, ya meskipun Arya masih seorang pelajar SMA. Mama ingin dia seperti Papa.” Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik berkata pada sang suami yang konglomerat dan gagah itu.
“Mulai bulan depan pembangunan itu sudah bisa dimulai Ma. Doakan semoga tidak ada sesuatu yang menghambat pembangunan proyek itu. Nanti Papa kenalkan Arya pada kolega Papa supaya dia tertarik menjadi pengusaha.” Sesaat kemudian Arya datang tetapi perbincangan itu terus berlanjut sampai Arya berkata,
“Ma, Pa, Arya pergi ke rumah teman ya.. ada tugas kelompok mungkin 2-3 hari.” Arya kemudian pergi tanpa menunggu jawaban orangtuanya.
***
“Kita harus berusaha merebut kembali tanah kita! Itu hak kita! Jangan biarkan para pejabat itu menjajah negri kita, negri mereka sendiri!” Seseorang memprovokatori supaya tanah mereka kembali. Tetapi kemudian polisi memborgolnya dan dibawa ke mobil polisi.
“Pa, mereka itu tidak tahu diuntung ya, sudah diberi imbalan tapi tetap meminta kembali tanahnya. Pantas saja mereka diangkut mobil polisi, mereka memberontak.” Arya berkata pada ayahnya yang kemudian hanya menjawab dengan senyum dan anggukan kepala.
“Arya ingin jadi pengusaha yang sukses seperti Papa.” Lanjut Arya. Padahal Arya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Tentu Nak, kamu akan Papa kenalkan pada kolega Papa. Maka dari itu sekarang kamu Papa ajak ke tempat ini. Dua bulan lagi kamu akan lulus SMA, Papa dan Mama berencana menyekolahkanmu di Amerika Serikat dan kamu pasti menjadi pengusaha yang paling disegani.” Tutur Papa Arya.
Sebuah masa depan terang terbuka lebar di depan mata Arya. Terbayang bagaimana indahnya Negara adikuasa yang akan ia tempati kurang lebih tiga bulan lagi.
***
“Bapak, Safa pergi ngaji dulu.. Assalamu’alaikum..” Pamit Safa untuk mengaji di mushola yang cukup jauh dari kediamannya.
“Hati-hati Nak, Wa’alaikumsalam…” Jawaban Safa disertai senyuman bapak tercintanya.
Mushala yang Safa tuju sejauh satu kilometer dari kediamannya. Pengajian itu dimulai sehabis ashar, Safa berangkat setengah jam sebelumnya. Dalam perjalanan kakinya Safa bergumam…
Senja semakin menggelap,
Angin semakin kencang bertiup,
Rintik hujan mulai menderas,
Akankah raga hanya diam??
Kami kedinginan,
Kami kehujanan..
Pertiwi,,
Tunggu aku,,
Aku takkan diam membisu
Melihat para pejabat bermain punggung
Makhluk berdasi yang buta tersungging senyum
Para tangan kuat yang kotor mengeduk lumpur
Dari tanah kami,
Yang kini menjadi gelandang tua dan muda
Siapa yang peduli??
Mereka berjas gagah
Mereka bersepatu kulit
Mereka bergaun putri
Mereka tertawa dengan ketinggian
Yang mereka tempati dan pandang
Tanpa toleh sedikitpun jiwa-jiwa yang
Dianggap bahwa alas kaki mereka lebih berharga…
Siapa yang peduli??
Kami bangsa Indonesia yang dijajah pribumi..
Pertiwi,,
Aku kan berusaha mengembalikan bumimu yang suci…
Tidak tersadar, air mata Safa menetes jua. Kini ia harus menyeka air matanya dengan usapan tangan sendiri. Tidak ada lagi mentari kehidupan yang menahan bendungan air mata. Ibu… Safa rindu Ibu… kami rindu Ibu…
Seketika lengah,,,
“Ccckkkiiiiitt… bbbrraakk…” Seorang pemuda yang mengemudi tampak kaget dengan mata sayunya. Pemuda itu terlihat masih mabuk. Tanpa ampun tubuh Safa yang kurus itu terlempar. Benturan di kepala pemuda itu pun tidak dapat dihindari.
***
“Bagaimana keadaan putra saya dan gadis itu dok?” Tanya seorang pria paruh baya.
“Putra Bapak terkena benturan di kepalanya. Hanya saja ia mengalami gegar ringan. Tidak terlalu berbahaya. Tetapi obat-obatan yang telah ia konsumsi sudah terlalu banyak…” Jelas dr. Paul pada pria itu.
“APA…?? Tidak mungkin Arya mengkonsumsi barang haram itu… dia pendiam dan tidak banyak tingkah… dia anak baik-baik dok, tidak mungkin dia seperti itu…” Wanita cantik di samping pria itu, yang ternyata mereka Papa dan Mama Arya, hanya menangis di dada sang suami.
“Hasil lab memang seperti itu Pak. Tetapi putra Bapak dan Ibu dapat sembuh kembali… tetapi,,,
“Keadaan gadis itu koma, tulang rusuknya ada yang patah akibat lemparan yang cukup keras dan patahannya itu menusuk hatinya. Dia harus segera dioprasi meskipun kemungkinan selamat hanya sedikit. Kami harus menerima keputusan akan pengoprasian dengan segera…” tutur dr. Paul tanpa bertele-tele.
“Kami yang menanggung jawab atas gadis itu dok. Anak kami yang menabraknya. Segera oprasi gadis itu, kami akan mencari keluarganya…”
***
“Seorang gadis berumur sekitar tujuh belas tahun yang tertabrak oleh putra tunggal pemilik perusahaan ternama yang mengemudikan mobilnya dalam keadaan mabuk tadi sore, gadis itu diduga putri sulung seorang pencari barang bekas yang bernama Safa. Safa dilarikan ke rumah sakit terdekat. Arya, putra pengusaha Heri Budiardy pun mengalami gegar ringan…
“Di rumah sakit, Safa dalam keadaan koma, Safa harus dioperasi karena patahan tulang rusuknya menusuk hati. Tapi takdir berkata lain. Pengusaha Heri Budiardy mengaku bertanggung jawab atas gadis itu, namun orang tua Safa masih dicari oleh anak buahnya…”
Berita yang terdengar oleh telinga mereka yang melihat televisi itu menjadi bahan perbincangan. Bapak Safa pulang ke rumah sekitar jam sepuluh malam. Didapati oleh bapak Safa, rumah mungulnya itu dipenuhi orang-orang. Para polisi, tetangga, dan banyak anak-anak yang takjub melihat orang-orang asing banyak berkumpul disana.
“Maaf, ada apa ya..? permisi saya ingin masuk…” tempat kecilnya itu semakin sesak dan menyebarkan aroma tidak sedap. Didapati Syifa anak keduanya terlelap tidur di pangkuan tetangga namun setiap sudut ruangan ia perinci, Safa tidak ada.
“Safa? Mana Safa? Mana anak saya…?”
“Maaf pak, saya perwakilan dari Tuan Heri Budiardy, saya meminta maaf atas apa yang menimpa putri bapak, terimalah ini…” Seorang anak buah sang pengusaha itu memberikan amplom coklat yang tebal pada bapak Safa.
“Apa maksudnya? Meskipun saya hanya tukang rongsokan, saya bisa mencari uang walau sedikit. Mana putri saya?” tidak ada jawaban. Semua diam. Kemudian seseorang menjelaskan semua kejadian. Air mata bapak Safa pun meleleh mengerti apa yang telah terjadi.
Saat itu juga bapak Safa pergi menemui jenazah putri kesayangannya. Syifa yang masih berusia tujuh tahun dititipkan pada tetangganya.
***
“Anakku, sungguh mulia cita-citamu. Semoga adikmu dapat meneruskan cita-citamu yang agung itu. Menjadi pengacara yang adil. Nak, bapak mengikhlaskanmu pergi…” Tetesan air mata mulai membanjir. Langsung pada malam itu juga, bapak Safa meminta langsung proses penguburan dilangsungkan. Dan hal itu pun segera terlaksana.
“Saya ingin menemui Tuan Heri Budiardy…” Pinta bapak Safa esok harinya.
“Mari saya antar. Tuan Heri sedang menunggui anaknya yang kabarnya mulai membaik…” Sampai saat itu, dua orang anak buah sang pengusaha ternama itu bersama bapak Safa dan menyanggupi semua permintaannya. Mereka melaju dalam mobil jaguarnya.
***
“Mengapa kamu bertingkah bodoh mabuk-mabukan heh? Anak tidak tahu diuntung. Apa maumu? Kau sudah melenyapkan nyawa seorang gadis. Apa itu tidak cukup??” Amarah Tuan Heri semakin meluap pada anaknya yang sudah sadar beberapa jam yang lalu. Namun anaknya hanya diam membisu tidak menjawab perkataan Papanya.
Arya tetap diam. Selang beberapa waktu, kata-kata mulai terlisan dari mulutnya perlahan…
“Papa terlalu mencari harta, Papa dan Mama mencintai harta.. untuk apa Arya hidup Pa? Arya heran mengapa Papa dan Mama tidak mempedulikan Arya, Arya mencari tahu Pa… dan ada sesuatu yang paling membuat Arya malu menjadi anak dari seorang pengusaha ternama seperti Papa dan dari wanita cantik yang selalu bersamanya…
“Papa merampas hak orang-orang kecil.. Papa rampas tanah mereka dan menggantinya dengan imbalan yang tidak setara… Arya bukan anak kecil yang selalu dapat dirayu dengan kata-kata manis Papa… Arya muak dengan semua ini.. Arya ingin harta yang halal... Arya benci Papa dan Mama…” Arya meluapkan isi hatinya. Tuan Heri diam tergugu. Istrinya hanya mampu menangis tersedu… mereka sadar, mereka telah mengabaikan putra tunggal kesayangan mereka.
“MaafPa, Ma, Arya tidak butuh harta itu. Arya akan pergi…” Arya mencabut semua selang yang menempel di tubuhnya. Arya berlari terhuyung. Papa dan Mamanya tidak bergeming. Tidak ada aksi mencegah.
Siang itu, jaguar yang ditumpangi Bapak Safa memasuki halaman parkir. Mereka tidak tertarik mencari tahu apa yang baru saja terjadi di depan rumah sakit tersebut. Namun dalm waktu kurang dari lima menit, terlihat Tuan Heri dan Nyonya keluar dari rumah sakit dangan keadaan galau dan menangis. Tidak ada yang berani bertanya. Bapak Safa dan dua orang tersebut mengikuti Tuan dan Nyoya Heri.
Arya pun tiada. Ia tertabrak saat keadaannya yang masih lemas menyebrangi jalan. Sebuah mobil mercy yang melaju kencang tak dapat menghentikan mobilnya. Arya tergilas, remuk bersimbah darah.
Semua beramai-ramai datangberkerumun namun banyak dari antara mereka yang tanpa kata. Tanpa diduga, tabrakan kedua pun terjadi. Nyonya Heri menabrakkan dirinya. Saat ada sebuah bus away melintas di jalur yang berbeda.
Tuan Heri syok. Semua terlambat untuk diperbaiki. Satu hal yang ia tahu, Kekayaan tidak menjamin kebahagiaan…
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H