Mohon tunggu...
Fayyadh Zyah
Fayyadh Zyah Mohon Tunggu... Penulis - Kompasiana baruku di Tempias Hati

I'm back. Akhirnya dapat akses kembali. https://tetesanrahmah.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Balada Hati yang Kacau

13 Februari 2012   10:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:43 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sinopsis

Semangatku yang mulai tumbuh saat itu, kembali runtuh. Padahal dengan susah payah sahabatku, Zha, yang sekaligus aku anggap dia saudara membantuku berdiri setelah terjatuh. Setidaknya aku tidak lagi terkapar.

“aku akan membantumu semampuku, Faya! Aku janji, InsyaAllah” janji Zha yang terikrar lewat tulisan yang cukup membuatku lega.

Zha, kau memang tidak pernah berwujud di depanku, tapi engkau selalu bersemayam dalam hatiku. Ya, aku tidak sendiri. Aku mempunyai Zha! Aku tidak sendiri setelah mereka, teman dan sahabatku di asrama meninggalkan aku, meski dalam makna kata. ‘Bersabarlah hati, ujian ini akan segera berakhir’. Aku selipkan kalimat itu ke dalam hatiku saat badai putus asa melanda batinku untuk mengukir seulas senyum yang meski hambar.

***

Belakangan hari-hari ini, aku kembali mengurung diri di dalam kamar mungilku. Menyendiri mengarungi mimpi yang aku ciptakan sendiri dengan harapan yang seakan tidak mungkin berpihak padaku. Ah, tidak. Semua itu mungkin. Aku percaya itu. Namun,darimanakah aku mendapat kekuatan untuk meraih semua itu? Aku hibur diri bahwa skenario Allah itu indah.

“Keluarlah,jangan terus menerus di dalam kamar!” itulah kalimat yang kerap kali terucap dari mulut ibu kala melewati kamarku. Beliau tahu aku ada di dalam dan tidak ingin keluar.

Ibu senantiasa mengkhawatirkan aku.

Aku merenungkan masalahku. Benarkah aku bermasalah? Diriku, keluarga, teman, sahabat, juga cinta. Semenjak dikecewakan sahabat dan teman asrama, serta cinta, aku selalu diam merenung dan aku menganggap semua itu masalah bagiku.

Bagaimana aku tidak menganggap itu masalah bagiku, sedangkan hidupku menjadi carut –marut oleh hal itu?

Dan satu hal, aku tidak ingin makan!

Begitu bodohnya aku.

***

Setelah sakit, aku berubah sangat drastis. Tidak lagi sehangat dulu, tidak lagi terukir senyum ceria. Aku berubah menjadi gadis pendiam yang tidak lagi bersemangat dan juga sangat sensitif terutama jika diungkit masalah penyakit. Aku pun begitu mudah menangis, padahal aku termasuk diantara orang-orang yang bergengsi tinggi untuk mengeluarkan air mata, meskipun hal itu setidaknya empat tahun yang lalu saat aku bergelar gadis tomboy. Prestasi yang aku raih pun seakan raib pergi entah kemana. Seakan aku tidak pernah mengukir prestasi barang satu kali. Tidak jarang orang-orang sekitarku bertanya, “mengapa kau jadi begini?”, “kau bukan Faya! Dimana kau sembunyikan Faya kawan kami yang ceria?”, atau pula, “kembalilah menjadi Faya yang penuh mimpi dan bersungguh-sungguh untuk mencapainya!”.

‘ah.. mereka semua tidak mengerti betapa hancurnya hatiku saat ini’ teriakku dalam hati.

Ya, hatiku mulai kacau ketika aku merasa tidak dimengerti keluargaku termasuk orang tua dan kakak-kakaku. Waktu tidak berselang lama, kemudian aku kecewa terhadap teman dan sahabatku karena sebuah kesalahfahaman akan keadaanku. Hatiku pilu. Padahal tanpa mereka, aku tidak kuasa untuk berdiri tegap mengisi hari seorang diri di asrama.

Terlebih ditambah dengan salah faham masalah berbeda orang yang aku cintai dan ia tidak mau mengerti bahkan mendengarkan penjelasanku pun ia tidak mau.

Ya, cinta yang datang tiba-tiba dengan cara yang tidak pernah disangka dan tanpa diundang menghampiri.

Menghampiri aku yang tengah kacau dan merasa kesepian.

Aku yang tengah rapuh ini menerima cinta itu dengan tangan yang meski sedikit terbuka.

Yang kemudian mekar mewangi tumbuh dalam lubuk hati.

Aku kecewa.

Semangatku menguap begitu saja. Dan peringkat kelasku jatuh drastis.

Aku putus asa dengan perubahanku sendiri.

Aku frustasi dan mulailah aku bereksistensi.

Aku menyakiti diriku sendiri, aku tidak ingin makan dalam tempo hari yang cukup lama.

Akhirnya aku sakit.

Aku pulang dari asrama.

***

Memang sulit menghadapi kehidupan dengan batin yang pilu. Terfikir dalam benak bahwa mungkin aku belajar di asrama itu sia-sia. Tentu sia-sia karena benteng hati hancur begitu saja oleh hantaman badai kawan. Padahal tinggal di asrama lebih dari tiga tahun. Sebelumnya aku berfikir bahwa waktu selama itu mampu mendekatkan diri kepada Rabbku sedekat-dekatnya. Tetapi, aku merasa sepi dalam hati. Sudikah Engkau memberi hidayah untukku?

Setelah enam bulan aku menyelesaikan pengobatan paru-paru yang sebelumnya mengobati maag kronisku, tidak aku sangka bahwa benjolan di kelopak mataku itu harus dioperasi dan hal ini pun bersangkut paut dengan alergi. Alergi! Yang mampu membuat mentalku jatuh menciumi tanah. Aku frustasi dengan semua penyakit itu. Dan semua itu berurusan dengan dokter! Huh, betapa aku muak dengan dokter. Aku tidak menyukai dokter. Aku tersiksa dengan kata dokter, karena aku ingat bahwa aku pasien.

Sungguh menyiksa batin kala sadar bahwa diri ini hanyalah pasien. Ya, pasien!

Orang yang hanya bisa merepotkan, hanya diingat jika datang untuk kontrol saja, dan banyak hal lagi yang tidak aku sukai menjadi seorang pasien. Terlebih lagi, aku tidak berguna.

Semangatku yang mulai tumbuh saat itu, kembali runtuh. Padahal dengan susah payah sahabatku, Zha, yang sekaligus aku anggap dia saudara membantuku berdiri setelah terjatuh. Setidaknya aku tidak lagi terkapar.

Zha datang saat aku merasa semua pergi. Kau datang saat yang tepat Zha! Terima kasih banyak sahabat.

“Aku akan membantumu semampuku, Faya! Aku janji, InsyaAllah” janji Zha yang terikrar lewat tulisan yang cukup membuatku lega.

Zha, kau memang tidak pernah berwujud di depanku, tapi engkau selalu bersemayam dalam hatiku. Ya, aku tidak sendiri. Aku mempunyai Zha! Aku tidak sendiri setelah mereka, teman dan sahabatku di asrama meninggalkan aku, meski dalam makna kata. ‘Bersabarlah hati, ujian ini akan segera berakhir’. Aku selipkan kalimat itu ke dalam hatiku saat badai putus asa melanda batinku untuk mengukir seulas senyum yang meski hambar.

***

“Ingatlah Allah Faya! Jangan sampai kau melupakanNya. Semakin engkau jauh dariNya, semakin engkau berat menjalani ujian dalam hari-hari hidupmu”.

Zha memang selalu menasehatiku, namun nasehatnya kali ini begitu menusuk sukma terdalamku.

Aku sadar!

Aku khilaf!

Aku semakin menjauh dariNya. Padahal seharusnya sakitku menuntun untuk lebih dekat denganNya..

Rabbie.. ampuni hambamu yang dzalim ini..

Berilah aku hidayahMu untuk memulai hidup pada jalan yang baru.

Terima kasih engkau memberiku sahabat seperti Zha.

Syukurku telah mengenalmu, sahabat!

***

Hari-hari biasaku terasa hampa. Setiap hari aku menghabiskan waktuku dengan diam merenung dan membaca. Salahkah aku sepenuhnya? Atau orang tuaku yang tidak mengerti? Bahkan setelah aku bereksistensi?

Begitu jahat aku melimpahkan kesalahanku pada orang tua!

Mereka hanya tidak mengerti.

Durhakalah aku!

Maafkan aku ayah, ibu!

Namun, batinku menjerit.

‘Aku ingin dimengerti! Jika aku memang sulit dimengerti, dan orang tuaku tidak dapat mengerti, lalu siapa yang akan aku salahkan??’

Kakakku?

Apa ya?

o.y…ne tulisanku untukmu..wahai adiku..

apa kau akan trus seperti itu?

Sampe kapan kau akan berpura-pura mengerti dan memahami smua keadaan ini…

Tak perlu kau trus merutuki diri akan penyakit yang Allah titipkan padamu,,

Memang memalukan,,tapi bukankah kau harus berbahagia..dari sekian banyak manusia, kau yang Dia pilih untuk melihat seberapa besar kecintaanmu padaNYA..?

Bukankah kau mengetahui itu adikku…

Sugguh surga balasan bagi orang2 yang sabar…

Slama ini kau tlah berusaha melewatinya dan tabah..karna engkau mengetahui betapa tidak enaknya merepotkan orang lain..

Memank ak tak bisa berpura-pura mengetahui apa yang slama ini kau rasakan,,karna ak bukan tipe orang yang akan bertanya dan memberikan wejangan..karna ak tahu kau telah mempunyai hak untuk memutuskan hidupmu..

Ak bisa saja menjadi tempatmu berbagi jika memang kau mau,,,

Bangkitlah adikku,,,tunjukan bahwa kau punya mimpi yang akan kau raih…pupuklah harapan itu supaya kau punya smangat untuk hidup dan tersenyum,,,,carilah seribu alasan tuk slalu tersenyum..

Bukankah Allah slalu punya cara untuk menunjukan kalo kau itu indah,,

Bantulah drimu mempercantik hatimu dg akal dan agamamu,,

Ak tak tau harus bilang apa..

Tapi yang pasti,,,mudah2an niat baikku tak kau anggap sebagai sindiran atw ledekan..

Ini jujur dari hatiku karna kau adalah adikku,,

Ak tak bisa seperti orang lain yang akan mersa..

Mengertilah,,

Lihatlah slalu sisi positif dari smuanya,,,

Ak mohon blajarlah..lapang hati,,,

Aku menangis tersedu saat membaca pesan kakakku yang ia simpan di fail dalam folderku, di komputer rumah kami.

Engkau benar, kak!

Dan yang salah akan semua hal ini adalah aku. Aku yang tidak dapat mengerti keadaanku sendiri.

“Maafkan aku kakak, aku tidak kuasa melakukan apa yang kau katakan padaku. Terima kasih atas kasihmu yang masih ada untukku. Padahal aku yang sudah menganggapmu tidak mengakui aku sebagai adikmu karena sikapmu selama ini padaku. Maafkan aku” hanya dalam hati aku mampu berucap

Tepatnya aku belum mempercayaimu kak!

Aku lebih percaya pada Zha yang meskipun sebenarnya aku tidak mengenalnya dan tidak pernah berjumpa dengannya.

Salahkah aku?

Aku hanya bisa bercerita ria dengannya.

***

“Assalamu’alaikum.. sedang apakah engkau disana? Masihkah diam tak bersua?” ucap kata Zha dalam pesan SMS.

Dengan senang hati kubalas, “wa’alaikumsalam.. seperti biasa.. aku hanya diam memikirkan sesuatu.. sedang apa dirimu?”

“Memikirkanku?” balasnya dengan penuh percaya diri dan disertai ikon senyum, “aku sedang duduk menonton tv” kata Zha kemudian dalam SMS balasannya.

“Tentu tidak!” sergahku, “Aku sedang memikirkan bagaimana lucunya seekor katak hijau besar yang tengah meloncat.. haha.. dan aku mengimajinasikannya padamu.. untukku hijaunya, dan untukmu katak besarnya.. :p” balasku penuh canda dan tawa ledekan.

Zha pun tertawa dan tidak ingin kalah ataupun mengalah dalam pesan balasannya.

Ya, kami memang senang bercanda dan tertawa bersama meski dalam ejekan.

Tidak jarang ia menghiburku saat sedih menyelimuti hati dengan caranya sendiri.

Zha tahu, jika ia tertawa maka aku ikut tertawa.

Dan sedihku sedikit demi sedikit menghilang karenanya.

***

Bagiku, ia lebih dari seorang sahabat!

Tetapi saudara.

Dan tepatnya bagiku, Zha adalah saudara kembarku.

Terlalu banyak kesamaan antara kami. Mulai dari tanggal lahir, warna favorit, hal yang disukai dan tidak, bahkan tidak sedikit sikap dan kelakuan yang sama.

Aku merasa satu dengannya.

Meskipun, mungkin ia hanya bayangan bagiku.

Dan aku akui, rasa itu muncul.

Aku sadari, ia tidak berhubungan darah denganku.

Namun, aku berusaha menimbun rasa itu.

Biarlah ia bahagia di samping seseorang yang lebih sempurna dari pada aku.

Aku tetap mendoakan kebahagian untukmu, saudara!

***

Aku merenungkan kembali semua itu.

Dan aku menyesali semua yang telah aku lakukan.

Aku terlalu bodoh merasa bahwa masalah ini akan membuat aku gila.

Padahal semua yang berlaku untukku adalah gerbang menuju kesuksesan dalam hidupku.

Aku keliru menafsirkansemua itu.

Aku tidak ingin mengecewakan orang-orang yang menyayangiku.

Keluargaku, sahabatku, dan Zha!

Aku ingin melihat mereka tersenyum, tidak lagi terbebani olehku. Akan aku buktikan pada dunia bahwa aku tidak lagi menjadi pasien. Tetapi menjadi orang berjiwa merdeka berwawasan luas dan mampu mengaplikasikannya.

Jika Zha ingin menjadi mentari yang senantiasa menyinari bumi tanpa ada lelah dihati, maka aku ingin menjadi hutan yang tumbuh di dalamnya ratusan bahkan ribuan hingga jutaan pohon rindang yang bekerjasama dengan mentari menghilangkan polusi di muka bumi

Maka bumi tidak lagi tercekik polusi. Dan manusia tidak terancam mati konyol oleh polusi.

Terimakasih semua.

Terimakasih Zha!

Sekarang aku tersenyum. Aku tidak akan mengulangi tingkah konyolku mengurung diri.

Semangat!

Harapan itu ada untuk meraih semua mimpi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun