Mohon tunggu...
Sahabat Castinger
Sahabat Castinger Mohon Tunggu... -

Belajar 'Nulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Soempah Pemoeda

28 Oktober 2012   05:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:18 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ahmad Mansur Suryanegara (AMS) menyebutkan dalam bukunya Api Sejarah bahwa pemuda pada tahun 1900-1942 menghadapi penangkapan dan pembuangan yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda. Penangkapan tersebut terutama dilakukan terhadap para ulama pembangkit gerakan kesadaran nasional misalnya Oemar Said Tjokroaminoto, Abdoel Muis dan Wignjadisastra.


Kesadaran nasional yang dimotori oleh para ulama dianggap membahayakan kepentingan pemerintah kolonial dalam menjaga keberlangsungan penjajahan di Indonesia. Mohammad Natsir dalam hal ini disebutkan oleh AMS sebagai pembangkit kesadaran nasional dengan pengertian gerakan menanamkan kesadaran cinta tanah air, bangsa dan agama.


Definisi kesadaran nasional ini rupanya tidak disenangi oleh pemerintah kolonial. Sebagai penjajah mereka menyadari bahwa membiarkan gagasan kesadaran nasional semacam itu tumbuh dalam setiap jiwa masyarakat Indonesia sama artinya dengan bunuh diri. Sama juga dengan merelakan kekuasaan yang mereka nikmati selama ini akan berakhir dan pulang kampung ke negeri asal dalam keadaan terhina. Akhirnya mereka bertekad tak akan membiarkan kesadaran itu tumbuh mengakar dalam setiap jiwa masyarakat.


Karakter dan watak penjajah dimanapun rupanya selalu ingin menampakkan eksistensinya sebagai pihak asing yang serba jenius. Baik dimasa lalu atau pun dimasa kini mereka sepertinya memahami secara pasti apa yang harus mereka lakukan untuk menghancurkan kesadaran nasional. Ditangkaplah tokoh-tokoh ulama yang saat itu vokal mengeritik setiap kebijakan pemerintah kolonial. Mereka lalu diasingkan. Rupanya taktik penjajah tidak hanya sekedar membuang para ulama yang sudah ditangkap. Mereka, para penjajah ini juga berinisiatif membentuk PKI pada tahun 1920.


Kenyataan sejarah ini seperti dinyatakan AMS menunjukkan bahwa PKI memang dibentuk pada 1920 oleh Sneevliet, seorang Belanda. Muncullah kemudian seorang tokoh Kristen Amir Sjarifoedin yang dikemudian hari bekerjasama dengan Van Mook dalam sebuah pergerakan bawah tanah melawan Dai Nippon. Namun nasib nahas rupanya menimpa Amir Sjarifoedin. Ia tertangkap dan divonis dengan hukuman mati. Atas pembelaan Ir. Soekarno hukumannya diubah menjadi seumur hidup.


Oleh karena itu dapat diketahui kenapa yang menjadi sasaran penangkapan dan pembuangan itu kebanyakan para ulama. Sebab bukan rahasia lagi jika PKI dan Pemerintah Kolonial memiliki pandangan serupa terhadap eksistensi dan peran para ulama. Mereka berpandangan hanya para ulama yang dapat menghambat rencana-rencana makar mereka. Para ulama tak pernah sudi berkompromi dengan penjajahan. Para ulama juga menentang atheisme sebagai falsafah dan ideologi kaum komunis.


Jadi dapat dikatakan kesadaran nasional pada saat itu mendapat tantangan dari konspirasi PKI dengan pemerintah kolonial Belanda disatu kubu dan Dai Nippon Jepang dipihak lain. Oleh karena itu tak mengherankan jika proklamasi sebagai deklarasi kemerdekaan Indonesia ditentang dengan gigih oleh PKI. Saat itu PKI sebagai antek pemerintah kolonial Belanda bahkan melancarkan propaganda bahwa tanpa bantuan pemerintah kolonial, Indonesia tak akan merdeka.


Kini Indonesia membuktikan dirinya mampu mewujudkan kemerdekaan itu. Walaupun dengan beban historis yang harus ditanggung oleh para pemuda disaat ini. Barangkali  ada orang yang akan bertanya sebagai pemuda dan generasi penerus apa yang dapat dilakukan dalam masa-masa penyempurnaan makna kemerdekaan. Pendapat yang paling ideal barangkali akan menyatakan tugas pemuda saat ini adalah belajar, bekerja dan berdoa. Sangat sederhana menurut saya, tugas dari para generasi penerus ini.


Hanya saja tugas itu akan menjadi rumit jika dalam perjalanannya kemudian dicampuri dengan sikap ketidakjujuran, ketamakan dan sikap mementingkan kelompok. Akibatnya kesadaran nasional menjadi bias dan akan tercerabut dari maknanya yang hakiki sebagaimana dikobarkan oleh para pejuang pergerakan kemerdekaan. Makna kesadaran nasional akan digiring pada tafsir ideologi dan kepentingan global secara sepihak dan disaat bersamaan justru bekerja memberangus kesadaran nasional itu sendiri. Pendek kata kesadaran global menjadi pembunuh nomor satu dari kesadaran nasional.


Kesadaran nasional oleh karena itu perlu dikembalikan pada maknanya yang original. Kesadaran nasional yang dilandasi dengan kesadaran keberagamaan yang tinggi. Dengan kesadaran nasional semacam ini sebagai bangsa dan negara maka : Pertama, negara ini tidak akan pernah mentoleransi segala macam bentuk penindasan dan ketidakadilan yang datang dari manapun dan dalam bentuk apapun. Kedua, bangsa dan negara kita akan selamat dari perilaku korupsi dan beragam penyimpangan lain. Ketiga, generasi penerus akan selamat dari bahaya narkoba dan perilaku amoral lain yang jika dibiarkan justru akan menjadi penyebab utama bagi kehancuran bangsa dan negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun