Kita ini perempuan, kita punya waktu yang lebih singkat untuk belajar dari pada laki-laki
Saya ingat saat masih SMA, guru saya (perempuan) berkata demikian. Saat ini, tentu saya dengan bebasnya tidak menyetujui perkataan beliau, tetapi masih terkenang jelas bagaimana batin saya saat itu mengiyakan bahkan berfikir pernyataan tersebut masuk akal. Mungkin karena latar belakang saya yang memang dibesarkan di lingkungan yang sangat konservatif, nilai-nilai patriarki secara tidak sadar sudah tertanam di belakang otak saya.Â
Perempuan punya waktu yang lebih singkat, karena goal utamanya adalah menikah dan menghasilkan keturunan. Tidak boleh terlalu lama belajar, lalu menikahnya kapan? Jangan terlalu tua menikah, lalu anaknya bagaimana?Â
Baru-baru ini, saya juga sadar, seumur hidup saya berusaha memaksa segala cita-cita saya supaya muat dalam narasi tersebut. Dulu saya bercita-cita menjadi dokter, tetapi bukankah pendidikan dokter butuh waktu yang lama? Berarti tidak akan muat dalam hidup saya, karena saya harus menikah dan punya anak, bukan? Dahulu saya berpikir, wah sepertinya saya tidak akan bisa ambil pendidikan magister dan seterusnya, karena nanti umur saya tidak akan cukup. Narasi bahwa saya suatu saat akan menikah dan punya anak ini, sebenarnya seperti kerangkeng. Apapun yang saya inginkan, saya harus berpikir, apakah muat untuk dibawa ke dalam kerangkeng?Â
Lalu apakah saya benar-benar ingin menikah dan punya anak? Tidak. Saya hanya 'tahu' saja bahwa suatu saat, saya akan menikah, saya akan punya anak. Apakah saya pernah berpikir 'ingin' punya anak? Untuk apa dipikirkan, bukankah semua orang 'pasti' ingin?
Baru dua atau tiga tahun belakangan saya mulai benar-benar berpikir, tentang apa yang benar-benar saya inginkan, tentang cita-cita saya yang sempat saya tinggalkan. Keyakinan bahwa, takdir saya sebagai perempuan sudah dibikinkan oleh orang lain dan saya tidak punya ruang untuk memilih, sekarang sudah tidak lagi membayangi langkah saya. Saya akhirnya melangkah keluar dari kerangkeng, yang ternyata tidak dikunci :D
Sampai sekarang saya masih cukup kaget, bisa-bisanya saya sempat jatuh dalam pengaruh narasi tersebut, padahal perempuan-perempuan di sekitar saya sangat mendukung pendidikan. Nenek saya menikah saat umur 15 tahun, beliau keukeuh saya harus sekolah dengan baik supaya tidak bernasib seperti beliau. Katanya kalau bisa mengulang, beliau ingin sekolah, jadi bidan atau PNS. Ibu saya menikah usia 21 tahun, beliau menentang keras saya menikah sebelum lulus kuliah. Hingga sekarang, beliau masih ingin meneruskan pendidikan magister tetapi belum ada waktu.Â
Perempuan-perempuan sebelum saya pun, melihat pernikahan mereka sebagai yang tak patut dicontoh, bukan karena mereka menyesal tetapi karena mereka tidak punya cukup waktu untuk berpikir, apakah ini benar yang mereka inginkan ataukah ini hanya pengaruh omongan orang? Kini berkat mereka, saya punya kesempatan itu, kesempatan untuk matang-matang mempertimbangkan kehidupan saya. Saya yakin, pengalaman ini bukan hanya milik saya. Anak-anak perempuan lain, wanita-wanita di universitas ternama, sampai gadis belia di bangku SMA, mereka semua mungkin juga melalui hal yang sama. Bisa memilih adalah suatu kesempatan yang istimewa, tetapi menyadari bahwa kita punya pilihan bagi saya jauh lebih mengguncangkan sukma.Â
*Tulisan ini dipersembahkan untuk peringatan Hari Wanita Internasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H