Mohon tunggu...
Fayakhun Andriadi
Fayakhun Andriadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Fayakhun Andriadi, Ketua Partai Golkar Prov DKI Jakarta. Anggota Komisi I DPR RI 2009 - 2014 dan 2014-2019. Lahir 24 Agustus 1972. Sarjana Elektro Universitas Diponegoro, Magister Komputer Universitas Indonesia (UI) dan menyelesaikan program Doktor Ilmu Politik UI (2014) dengan disertasi Demokrasi di Era Digital. Pemilik website www.fayakhun.com. Twitter: @fayakhun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keprihatinan Warga Jakarta: Pengemis Anak

29 Februari 2012   06:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:45 842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebuah pemandangan umum sehari-hari, menurut saya tidak normal, tidak manusiawi, namun terlihat sepanjang hari : Pengemis anak-anak. Sebuah ironi, di tengah hiruk pikuk kehidupan warga kota Jakarta yang seakan tak pernah lelah beradu nyali untuk menyasar paradigma peningkatan kualitas hidup, terlihat anak-anak kecil tampak asyik menunggu di sudut-sudut kota, berusaha bertahan hidup, berusaha ikut menikmati kualitas hidup yang dihasilkan dengan mengemis. Hati siapa pun tentu saja sebetulnya akan miris lalu muncul keinginan untuk mengulurkan tangannya, paling tidak agar mereka juga ikut merasakan manisnya hidup. Hanya saja, cara tersebut tentu saja kurang tepat, karena justru akan menimbulkan permasalahan baru.

Yang lebih menyedihkan lagi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seakan malah melakukan pembiaran. Hujaman kritik paradigmatik terus mengalir, hanya saja Gubernur Fauzi Bowo seakan tak bergeming. Kalau pun ada tindakan, tak ubahnya seperti mengatasi kebakaran yang menimpa rumah-rumah warga Jakarta. Yang terpenting baginya adalah si jago merah yang melalap rumah-rumah warga dapat dipadamkam, persoalan besok atau lusa terjadi kebakaran lagi itu hal lain.

Padahal, kebanyakan pengemis tersebut masih sangat belia, anak-anak di bawah umur. Masa–masa yang semestinya mereka habiskan untuk memaksimalkan tumbuh kembang fisik dan mentalnya, malah mereka gunakan untuk sekadar melantunkan lagu-lagu picisan di sudut-sudut kota demi mendapatkan sekeping dua keping uang logam dari penumpang angkutan umum atau pengendara sepeda motor yang tampak menyemut. Masa-masa dimana seharusnya mereka mendapat asupan gizi dan pengetahuan yang baik, bukan justru mendapati kerasnya kehidupan di jalanan ibu kota. Sumpah serapah, caci maki dan perkatan buruk lainnya terlontar dari mulut orangtua mereka yang mendapati para pengemis belia tak kunjung mendapatkan penglaris.

Bukan Sekadar Alasan Ekonomi

Semakin tingginya biaya hidup dan kemiskinan di Jakarta memang lebih sering dijadikan alasan umum oleh sebagian orang untuk hidup mengemis. Padahal, faktor yang membuat seseorang harus mengais rezeki dari uluran tangan orang lain begitu heterogen. Sayang, banyak orang yang tak sadar akan faktor-faktor tersebut. Baik masyarakat yang memproduksi para pengemis, pemerintah sebagai pihak yang semestinya mengentaskan para pengemis atau bahkan para pengemis sendiri, karena baginya hidup itu adalah untuk makan.

Keberadaan para pengemis dari kalangan anak-anak dan anak jalanan secara keseluruhan di negeri ini memang menimbulkan enigmatika sosial yang cukup rumit, mulai dari faktor yang menjadi penyebab munculnya para pengemis tersebut hingga pada model penanganan untuk mengatasi, mengurangi atau bahkan menghilangkannya.

Bila dibandingkan dengan fenomena keberadaan para pengemis dan anak jalanan di negara-negara lain, kasus Indonesia memang cukup unik sekaligus juga mengkhawatirkan. Karena ia tak semata menyasar paradigma determinisme ekonomi seperti yang didengungkan para penganut aliran marxis. Dimana ekonomi merupakan faktor yang paling mendasar yang membuat seseorang menjadi marginal, miskin lalu kemudian hidup mengemis.

Ekonomi memang sedikit banyak telah berperan bagi lahirnya para pengemis dan anak jalanan lainnya, terutama dengan adanya krisis ekonomi pada akhir 97-an. Namun nyatanya ekonomi tak menjadi faktor tunggal yang determinan, ia diikuti oleh faktor budaya, struktur sosial (termasuk pemerintah) mental dan dinamika kehidupan keluarga. Disinilah signifikansi dari adagium ‘bangsa yang bermental pengemis’, karena begitu banyak orang yang lebih suka bergantung pada orang lain. Klaim ini tentu saja tak hanya menjadi milik para penganut determinisme ekonomi, tapi juga para penganut strukturalisme, karena ia amat terkait dengan struktur sosial yang ada dalam masyarakat.

Untuk itu menjadi tak mengherankan bila begitu banyak penduduk Jakarta yang berprofesi sebagai pengemis. Di siang hari mereka terlihat compang-camping, kurus kering dan kumuh. Tiada daya selain menengadahkan tangan dan berharap ada orang yang tersentuh lalu tergerak untuk memberikan barang seratus dua ratus perak saja. Saat matahari mulai beringsut dan hari pun berganti malam mereka kembali ke rumah masing-masing untuk menghitung dan menikmati hasil ngemisnya. Bagi mereka, tak masalah bila di siang hari miskin papa, asalkan di malam hari pulang membawa uang.

Dalam konteks inilah Gubernur Fauzi Bowo semestinya lebih tanggap. Karena walau bagaimanapun anak merupakan potensi dan asset strategis penerus cita-cita bangsa, memiliki posisi dan peranan yang strategis dalam kelangsungan kehidupan bangsa dan negara. Kesalahan prosedur dan metode penanganan terhadap maraknya pengemis dari kalangan anak-anak ini saja sejatinya dianggap sebagai sebuah pelanggaran atas hak asasi manusia, apalagi dengan melakukan pembiaran.

Hak Asasi Anak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun