Pada tahun 2009 Presiden SBY dalam pidato kenegaraannya mencanangkan politik a million friends, zero enemy. Tapi pada tahun 2009 itu juga Indonesia disadap oleh Australia, yang baru terbongkar pada tahun ini karena bocoran rahasia dari mata-mata AS. Adakah persahabatan tulus dalam persahabatan antar negara ? Bagaimana harusnya Indonesia memposisikan diri dalam persahabatan itu ?
Semangat patriotisme merupakan subjektivitas yang tiada tara, karena ia begitu mudah diucapkan namun sukar dilaksanakan. Saking sulitnya, dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita perhatikan bagaimana kemudian patriotisme malah diwujudkan dalam pengertian yang amat sempit.
Bentuk kecintaan kita kepada bangsa bahkan seringkali hanya muncul tatkala timnas sepakbola atau tim bulu tangkis kita bertanding. Atau, saat ada negara lain yang secara tiba-tiba menodai kehormatan bangsa. Karena sifatnya yang subjektif inilah perasaan patriotisme pun kemudian menjadi mudah dipermainkan.
Ada banyak cara bagaimana orang menumbuhkan perasaan patriotisme, salah satunya adalah dengan memainkan perasaan patriotisme warganya.Termasuk dalam kasus penyadapan yang dilakukan oleh pihak Australia terhadap Presiden SBY dan para pejabat lainnya pada tahun 2009. Dalam kasus ini, patriotism warga negara Indonesia sekonyong-konyong menggelora, mendorong seseorang untuk melakukan perlawanan, baik dalam bentuk kecaman lewat media jejaring sosial, perang cyber, atau bahkan(kalau perlu) hingga memanggul senjata.
Sebagai sebuah subjektivitas, bentuk kemarahan Presiden SBY terhadap praktik tidak fair Australia terhadap Negara sahabatnya, Indonesia tentu saja wajar. Karena selama ini, Indonesia selalu berusaha menjaga hubungan baik dengan Australia. Apalagi kita semua tahu bila selama periode 2009-2010 tersebut, Presiden SBY begitu gencar mengkampanyekan perdamaian.
Kita tentu ingat dengan Pidato Kenegaraan Presiden SBY dalam rangka HUT RI ke-65, tanggal 16 Agustus 2010 di depan Sidang DPR dan DPD-RI. Dalam pidato tersebut, beliau dengan tegas mengatakan bahwa “Dalam dunia yang masih mencari bentuk ini, kita terus berpegang teguh pada politik luar negeri bebas aktif yang diabdikan pada kepentingan nasional. Sesuai amanat pembukaan UUD’45, kita terus berjuang untuk keadilan dan perdamaian dunia.”
Dalam kesempatan tersebut, beliau juga mulai memperkenalkan kebijakan politik luar negeri Indonesia ke segala arah, atau “all directions foreign policy”.Menurut Presiden SBY : “sejuta kawan, tanpa musuh”, “a million friends, zero enemy”.
Untuk meyakinkan orang akan jargon dan prinsip a million friends, zero enemy tersebut, Presiden SBY bahkan sampai meluncurkan sebuah album yang berjudul “Harmoni Alam, Cinta, dan Kedamaian.” Menurut Presiden, album tersebut merupakan ekspresi kecintaan sekaligus mimpi tentang perdamaian. “Harmoni dalam arti sesungguhnya adalah tatanan perdamaian yang terwujud dalam realitas kemajemukan,” ujar beliau.
Si Vis Pacem Para Bellum
Namun, secara objektif sikap Presiden SBY kepada Perdana Menteri Tony Abbott, yang juga memainkan perasaan patriotism kita tentu juga menjadi naif. Karena SBY yang hampir separuh hidupnya berada dalam dunia militer, tentu tahu betul dengan pepatah “Si Vis Pacem, Para Bellum”, (siapa menginginkan perdamaian, maka bersiaplah untuk berperang).Sangat mustahil bila Presiden SBY lupa dengan pepatah latin di atas, yang merupakan penyederhanaan dari kalimat aslinya, “Ignitur qui desiderat pacem, praeparet bellum”, yang dikutip dari karya seorang ahli militer Flavius Vegetius Renatus dalam kata pengantar buku De re militari.
Presiden SBY juga tentu tahu betul dengan prinsip dan doktrin Ius Ad Bellum, yang merupakan turunan dari pemikiran St. Agustine, yang melihat perang sebagai sesuatu kejahatan yang perlu dilakukan untuk menciptakan perdamaian (Wight, 1996). Sebuah pepatah latin yang tak berarti sepenuhnya menghimbau peperangan, namun bila dalam keadaan terdesak, maka perang merupakan alternatif terakhir (last resort).
Sejarah sebetulnya sudah mencatat dengan jelas, bila kolonialisme, kapitalisme, perang terbuka, perang ekonomi, perang energi, maupun perang cyber telah membuktikan bila “perdamaian hanya akan tercipta apabila semua pihak sama-sama berhitung dan takut satu sama lain.” Tak bermaksud menghidupkan kembali spirit proto-facis ala Machiaveli, namun realitasnya memang seperti itu.
Nyatanya, praktik penyadapan ini memang tak hanya ditujukan kepada para pejabat di Indonesia. Namun juga hamper kepada seluruh kepala negara di dunia. Dimana menurut data intelijen yang dibocorkan oleh Edward Snowden, NSA Amerika telah menyadap pembicaraan 35 kepala negara di dunia, dimana nomor kepala Negara diketahui setelah terlebih dahulu menyadap pejabat di bawahnya.
Praktik penyadapan yang dilakukan Amerika ini bahkan dilakukan kepada negara-negara yang selama ini dianggap sebagai Negara sahabatnya sendiri, seperti Jermandan Israel. Kanselir Jerman Angelina Merkel, bahkan sempat marah, karena nomornya ada dalam daftar yang disadap NSA.
Praktik sadap-menyadap seperti ini sebetulnya menjadi hal yang biasa, bahkan sesame negara yang sebelumnya menyatakan diri sebagai Negara sekutu, seperti antara Amerika dan Israel. Misalnya saja, Amerika Serikat yang pernah mengeluhkan praktik Mossad (Dinas Rahasia Israel) yang malah beroperasi di wilayah Amerika. Amerika bahkan pernah marah besar kepada Israel, karena peristiwa bom di sebuah barak militer AS di Libanon pada tahun 1983, yang menewaskan 299 marinir Amerika Serikat (Wallstret Journal, 2012).
Legitimate Self Defense
Damai itu memang indah. Tiada resah dan gelisah, sehingga hidup menjadi lebih terarah. Karena itu hampir tidak ada orang yang menentang perdamaian di dunia ini. Ia merupakan tujuan utama dari kemanusiaan. Meski banyak orang atau pun kelompok yang berbeda pandangan tentang apa itu perdamaian, bagaimana mencapainya, dan apakah perdamaian benar-benar dapat tercipta?, namun pada intinya hampir tidak ada satu orang pun yang tidak mencintai perdamaian.
Salah satu yang menunjukkan bagaimana perdamaian begitu diterima banyak orang mungkin adalah kepopuleran lagu “Imagine” karya John Lenon. “Di banyak negara di seluruh dunia, saya dan istri saya telah mengunjungi sekitar 125 negara, dan kita dapat mendengar lagu “Imagine” hampir sama seringnya dengan lagu kebangsaan”, demikian ungkap Jimmy Carter dalam majalah Roolingstone tahun 2004.
Karena begitu populer, lagu ini tentu saja sejenak dapat menjadi media untuk menyampaikan pesan perdamaian keseluruh dunia. Sehingga semakin banyak orang kian cinta terhadap perdamaian. Hanya saja sebagaimana nada satire yang terasa dalam lyric lagu tersebut, bahwa perdamaian di dunia ini sebetulnya begitu utopis. Terutama dengan kenyataan bahwa sejarah manusia hamper tidak pernah lepas dari kekerasan dan peperangan. Bahkan, tradisi barbar ini telah semakin akrab dan sering menjadi penyelesaian akhir berbagai macam konflik antar bangsa dan negara. Demokrasi, kebebasan dan perdamaian mati-matian dipertahankan, sementara trio-ekonomi, politik, dan sains membanting tulang untuk menghasilkan persenjataan yang canggih dan mematikan. Dan anehnya, tak sedikit pula orang yang malah mengharapkan upaya peperangan sebagai solusi sebuah perubahan dan kesejahteraan, welfare state is warfare state, kata Herbert Marcuse. Maka tak heran pasca perang dunia II negara-negara maju terutama AS dan Rusia saling berlomba memodernisasi persenjataannya.
Masih segar dalam ingatan kita, ketika terjadi kebuntuan resolusi nuklir Iran yang semakin menegangkan hubungan dengan pihak barat, dunia intenasional dikejutkan dengan uji coba senjata anti satelit milik China. Sontak Amerika yang sebelumnya mati-matian mendorong IAEA dan PBB untuk menjatuhkan sanksi terhadap Iran uring-uringan. Pasalnya, kemajuan teknologi persenjataan China ini telah mendobrak hegemoni AS atas penguasaannya di angkasa lepas. AS-pun akhirnya harus terseret ke meja perundingan untuk membuka kembali kesepakatan internasional yang mencegah perlombaan senjata di angkasa, yang saat ini hanya dikuasai AS.
Sementara itu Inggris yang selama ini menjadi sekutu AS dalam membuat peraturan pengembangan senjata nuklir yang paling vokal mengkritik modernisasi nuklir negara lain, akhirnya juga mulai terang-terangan dalam memodernisasi nuklirnya. Ketegangan pun tak dapat dihindari, perdamaian dunia dengan demikian benar-benar sedang terancam.
Bahkan menurut laporan Stockholm International Peace ReseacheInstitute (SIPRI) menyebutkan bahwa, modernisasi senjata nuklir pasca perang dingin telah membuat Amerika memiliki sekitar 4500 hulu ledak nuklir yang telah terarah dan siap diluncurkan tanpa mendapat persetujuan kongres sekalipun. Sementara Rusia saat ini memiliki sebanyak 3.800 buah hulu ledak nuklir, China, Prancis, dan Inggris masing-masing antara 200 hingga 400 buah hulu ledak (Kompas, 13/06/2007). Potensi-potensi perperangan yang kian membuat kita semakin sulit untuk meraih perdamaian dunia.
Relasi antara perdamaian dan peperangan yang memperihatinkan tersebut semakin memperkuat tendensi bahwa, masyarakat modern secara fundamental bersifat rasional sekaligus juga irrasional. Rasionalisasi dan efisiensi diterapkan dalam ilmu pengetahuan serta teknologi dalam taraf yang teramat tinggi, termasuk dalam upaya penyadapan. Namun di sisi lain ternyata masyarakat yang modern tersebut menunjukan ciri-ciri yang sama sekali irrasional. Atas nama kebebasan, demokrasi dan perdamaian manusia modern dan rasional tak jarang menghalalkan berbagai macam cara untuk memperluas pengaruh dan kekuasaannya. Spionase, sabotase, invasi militer dan peperangan pun pada akhirnya dianggap sebagai tindakan pre-emtive dan sebuah tindakan yang wajar serta legal.
Indonesia boleh saja berpolitik zero enemies, million friends, tapi arsitektur keamanan nasional termasuk sistem persandian anti sadap harus dibangun secara lebih terintegrasi. Dan yang lebih penting lagi tentu saja adalah politik luar negeri serta politik keamanan nasionalnya harus mengedepankan prinsip realisme politik. Prinsip yang bersandar pada doktrin bahwa, meskipun politik luar negeri kita meniscayakan perdamaian dunia, namun juga jangan lupa untuk mempersiapkan diri dari agresi negara lain (legitimate self defense).
Pak SBY, harapan akan memupuk millions of friends, ternyata berbuah millions of enemies yang mengintai kita. Kita harus selalu waspada. [ ]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H