BNP2TKI tidak pernah memperlihatkan peran signifikan memberikan perlindungan terhadap TKI. Bahkan kasus kekerasan terhadap TKI bertambah sejak BNP2TKI berdiri. Sekarang hanya ada dua opsi untuk lembaga ini.
Belum lama kita dibuat sangat bangga sekaligus kagum dengan retorika SBY yang diperlihatkannya di hadapan sidang International Labor Organization (ILO) pada 14 Juni 2011 kemarin. SBY terkesan sangat diplomatis ketika membicarakan mengenai perlindungan PRT migran di Indonesia. Dalam pidatonya, ia mengatakan bahwa di Indonesia mekanisme perlindungan terhadap PRT migran sudah berjalan, baik itu dengan keberadaan sebuah institusi maupun regulasi.
Dalam kenyataannya, hanya berselang empat hari, pada hari Sabtunya, 18 Juni 2011 muncul pemberitaan yang sangat mengejutkan di sejumlah media internasional. Isinya bagaikan menampar merah muka orang nomor satu di negeri ini, dan tentu saja seluruh rakyat Indonesia. Yakni kasus eksekusi hukuman mati dengan cara dipancung bagi Ruyati binti Sapubi, seorang TKW asal Indonesia yang bekerja di Saudi Arabia. Kasus ini jelas memperlihatkan fakta yang sangat paradoks dari apa yang dikatakan SBY di forum internasional itu, dengan kenyataan yang ada di lapangan.
Ironinya lagi, di Indonesia, pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab dalam penyelesaian kasus itu, terkesan lempar tanggung jawab; bahkan saling menuding siapa yang paling berhak mengatasi persoalan itu. Menakertrans menuduh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) lalai dengan kasus kematian TKI asal Bekasi itu. Sebaliknya, BNP2TKI menilai pihak kementerian kurang aware dengan para pekerja yang sering disebut sebagai pahlawan devisa negara itu. Sedangkan pihak Kementrian Luar Negeri juga dianggap lalai, tidak mempunyai informasi akurat terkait eksekusi Ruyati.
Persoalan yang kerap menimpa buruh migran Indonesia di luar negeri, perlu dilihat secara kritis : sikap pemerintah kita, dalam merespon berbagai persoalan itu dalam berbagai bentuk kasusnya. Bagaimana peran institusi-institusi yang harus bertanggung jawab sesuai beban kerjanya, dalam menghadapi kasus ini. Apa rekomendasi penting yang harus diambil oleh pemerintah, dalam rangka perbaikan mutu perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
Kesedihan yang Tak Pernah Berujung
Kasus Ruyati tidak lebih dari sebuah fenomena gunung es (Iceberg Phenomenon) yang menimpa para tenaga kerja kita di luar negeri. Selain itu, dipastikan lebih banyak dan besar lagi, baik dari segi jumlah maupun kualitas hukumannya yang dialami oleh para pahlawan devisa ini. Menurut Kemenlu sejak tahun 1999 hingga 2011, terdapat 303 warga Indonesia terancam hukuman mati. Dari jumlah itu, tiga di antaranya telah diieksekusi, dua orang dipancung di Arab Saudi dan satu orang di Mesir.
Jumlah ancaman hukuman mati terbesar dialami TKI kita di Malaysia. Yakni sebanyak 233 orang. Kemudian di negara China sebanyak 29 orang, dan diikuti oleh Arab Saudi banyak 28 orang. Sebuah angka yang sangat menggetirkan karena menyangkut nyawa anak bangsa yang berjuang membiayai hidupnya di luar negeri.
Munculnya kembali kasus kekerasan yang menimpa para TKI belakangan ini seperti menunjukkan ketidakmampuan bangsa ini mengambil pelajaran atas pelbagai kasus yang sama terjadi di masa sebelumnya. Untuk menyebut sejumlah kasus yang cukup menyita perhatian publik, di antaranya kasus TKI, Nirmala Bonat yang luka parah akibat sering disiksa majikannya pada tahun 2004 dan kasus yang sama juga menimpa Ceriyati, TKW asal Brebes Jawa Tengah pada 2007. Satu tahun kemudian terjadi lagi, seorang TKI, Siti Hajar kabur dari apartemen majikannya, karena tidak tahan sering disiksa pada tahun 2009. Hingga kini, kekerasan terhadap TKI seperti tak pernah usai.
Menurut data Migrant Care (2011), bila berdasarkan negara penempatan, TKI kita banyak mengalami kekerasan itu di negara yang sering mengklaim sebagai negara serumpun. Yakni Malaysia. Jumlah kekerasan yang menimpa TKI kita di negeri Upin-Ipin ini sebesar 39 persen. Kemudian diikuti oleh Arab Saudi yang sebesar 38 persen. Negara lainnya, seperti Kuwait (5 persen), Hongkong, Taiwan, dan Yordania masing-masing 3 persen, Brunei Darussalam, Singapura, Bahrain, dan Amerika masing-masing 2 persen. Sebuah besaran yang sangat memilukan.
Seringnya TKI kita mengalami kekerasan dikarenakan mereka umumnya bekerja di sektor informal atau domestik, baik sebagai pembantu rumah tangga, pengasuh anak atau juru masak di restoran. Sementara untuk sektor lainnya, biasanya dipasok warga negara Filipina, Banglades, India, dan Vietnam. Dari sini jelas, posisi tawar negara kita sebagai pemasok tenaga kerja sangat rendah.
TKI kita yang bekerja di sektor informal adalah jenis pekerjaan yang dibayar lebih rendah untuk kerja yang panjang karena jam kerjanya tidak jelas. Pendapatan mereka di bawah upah minimum sektor jasa di sektor formal seperti di pabrik dan perusahaan. Demikian juga, mereka yang bekerja adalah kaum perempuan.