'Hafal' berarti dapat mengucapkan sesuatu di luar kepala. Menyuruh menghafal berarti menyuruh mereka untuk meresapi sesuatu ke dalam pikiran agar selalu ingat. Dan seringkali tuntutannya adalah siswa harus hafal persis seperti yang tertulis di buku pelajaran. Dan itu berlaku untuk semua mata pelajaran, tak peduli apakah itu mata pelajaran eksak (seperti matematika, IPA, Fisika, dsb), sosial (sejarah, IPS, dsb), dan agama/moral.
Jumlah mata pelajaran sekolah negeri, juga mayoritas sekolah swasta, berjejer banyak. Tingkat SD saja, jumlah mata pelajarannya bisa mencapai 10-12 mata pelajaran. Tingkat SMP dan SMA antara 12 - 14 mata pelajaran. Andaikan satu pelajaran berisi 15 hafalan, berarti anak SD harus mampu mengingat sekitar lebih kurang 150 hafalan.
Karena tuntutan menghafal itu, pada saat ujian anak didik dilarang membuka buku alias nyontek. Apakah membuka buku sama dengan nyontek? Jawabannya 'belum tentu'. Kalau soal ujiannya adalah kasus yang membutuhkan imajinasi (otak kanan), yang membutuhkan pendalaman pengertian (otak kanan), maka membuka buku bukan berarti akan bisa menjawab soal. Akan tetapi karena semua soal adalah pertanyaan dangkal yang tidak membutuhkan analisa, semua soal bisa dijawab dengan sekedar membuka buku, maka nyontek/membuka buku saat ujian dilarang keras.
Setiap orang, termasuk anak didik, sudah pasti ingin sukses dalam ujian, mereka tidak ingin dicap sebagai anak bodoh. Akan tetapi mereka juga tidak kuat menghafal sebegitu banyak item pelajaran yang mereka tahu bahwa sebagian besarnya tidak akan masuk sebagai soal ujian. Tapi karena mereka tidak tahu mana yang akan jadi pertanyaan, maka mereka dituntut untuk menghafal semuanya jika tidak ingin gagal.
Pertautan antara keinginan untuk tidak gagal dan keterbatasan kemampuan menghafal pada akhirnya melahirkan penyakit mental: manipulasi, tipu muslihat, akal bulus. Mayoritas anak didik berlomba-lomba pintar membikin contekan, jimat. Ada yang bikin contekan di tisu, kertas kecil, di betis, di paha, perut, dan segala macam tempat yang tertutup dari mata pengawas ujian.
Sungguh luar biasa kreatifitas anak didik dalam hal manipulasi dan tipu daya di bidang contek-menyontek ini. Itu mereka praktekkan sejak berusia SD hingga masa kuliah, dan di setiap masa ujian yang berlangsung secara konsisten. Dan itu berarti, kultur manipulasi, berbuat curang, hanya patuh saat petugas ada, budaya instan dan sebagainya itu sudah mulai berkembang di dalam diri calon generasi bangsa sejak mereka masih berusia dini.
Praktek yang terjadi di lembaga pendidikan inilah bibit unggul bagi berkembangnya penyakit mental kronis di tengah masyarakat. Sesuatu yang sudah rusak sejak dini, maka ke depannya akan rusak sendiri, itu pasti. Kalau menyontek dianggap biasa dan dipraktekkan berulang-ulang, maka ke depannya dia akan menganggap 'nyolong' itu biasa, 'ngutip komisi' itu lumrah, dan korupsi juga tidak dosa. Itu menjadi sebuah akumulasi.
Beberapa Contoh
Saya ingin memberikan contoh mentalitas bangsa yang merupakan buah dari akumulasi contek-mencontek tersebut. Dua contoh tersebut berkaitan dengan posisi saya sebagai anggota DPR RI Komisi I dan sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan DKI Jakarta.
Pertama, belum lama ini kami di Komisi I DPR mengesahkan anggaran sebesar 57 triliun untuk pembenahan Alutsista (alat Utama Sistem Persenjataan Utama). Anggaran ini bertujuan untuk merealisasikan pemenuhan kebutuhan minimal alat utama sistem persenjataan (Alutsista) inti yang dijabarkan dalam konsep 'minimun essential force' (MEF).
Sekarang saya 'harus sering teriak-teriak', mengingatkan, agar anggaran tersebut tidak hanya jadi bancakan. Dana tersebut harus dikawal betul agar diarahkan untuk memberdayakan dan memperkuat industri alutsista dalam negeri demi mewujudkan kemandirian di bidang alutsista. Niat untuk menjadi kuat dan mandiri di bidang alutsista ini tidak akan tercapai jika tanpa memberdayakan dan membangun industri alutsista dalam negeri. Prioritas utama harus pada memberdayakan produksi dalam negeri, bukan membeli alutsista dari negara lain. Jika kita membelanjakan duit negara ke negara lain, berarti kita memperkaya negara lain dan uang negara menguap begitu saja. Tetapi jika kita membelanjakan anggaran untuk membangun dan memberdayakan industri alutsista dalam negeri, maka duit negara itu akan dirasakan manfaatnya oleh bangsa kita sendiri, anak cucu kita besok, dan berlaku untuk jangka waktu yang sangat lama.