Mohon tunggu...
Fayakhun Andriadi
Fayakhun Andriadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Fayakhun Andriadi, Ketua Partai Golkar Prov DKI Jakarta. Anggota Komisi I DPR RI 2009 - 2014 dan 2014-2019. Lahir 24 Agustus 1972. Sarjana Elektro Universitas Diponegoro, Magister Komputer Universitas Indonesia (UI) dan menyelesaikan program Doktor Ilmu Politik UI (2014) dengan disertasi Demokrasi di Era Digital. Pemilik website www.fayakhun.com. Twitter: @fayakhun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mendamba Generasi Pencipta: Refleksi Sumpah Pemuda

28 Oktober 2010   03:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:02 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Negara-negara di belahan dunia lain sebagai sumber utama globalisasi sangat memahami akan pentingnya penguasaan terhadap TIK. Tidak heran jika penguasaan terhadapnya telah menjadi sumber utama kemajuan kehidupan mereka. Tidak heran jika penguasaan terhadap TIK telah menjadikan mereka sebagai penguasa ekonomi di dunia.

Pada bulan Maret 2010 lalu, Majalah Forbes merilis deretan nama orang terkaya di dunia yang dihuni oleh sederetan nama, seperti Carlos Slim, Bill Gates, Warren Buffet, Larry Ellison, Sebastian Pinera dan beberapa nama lain yang berasal dari Amerika dan Eropa. Latar belakang usahanya pun lebih banyak bergerak di bidang TIK. Berbeda dengan deretan nama orang terkaya di Indonesia yang bergerak di bidang industri rokok dan pemanfaatan sumber daya alam.

Meski agak sulit untuk dikaitkan, paling tidak dereten figur penguasa ekonomi di dunia dengan latar belakang masing-masing menunjukkan bahwa pentingnya TIK belum menjadi kebutuhan utama bagi bangsa ini. Karakter TIK belum menjadi identitas utama dalam meraup kesuksesan dibandingkan pemanfaatan dan ekplorasi terhadap sumber daya alam. Hal ini juga menunjukkan bahwa bangsa ini belum mampu meningkatkan popularitasnya menjadi bangsa pencipta (creator), pengolah (processor), tapi lebih sebagai bangsa “penjaja” (consumer). Dampaknya, justru menjadikannya semakin terpuruk, menjadi budak ekonomi bagi bangsa lain.

Boleh jadi, kondisi ini disebabkan oleh dukungan limpahan sumber daya alam yang begitu besar. Sumber daya yang sebagian besar tidak bisa diperbaharui justru semakin lama terkikis habis. Sementara daya pencipta yang masih lemah “meninabobokkan” bangsa ini dalam suasana yang serba hanya bisa menikmati apa yang ada, tanpa berusaha menciptakan sumber daya dan peluang baru demi kepentingan masa depan.

Kondisi ini sungguh sangat disayangkan, mengingat potensi pemuda Indonesia begitu besar jika hanya sekedar diperuntukkan untuk memajukan kekuatan bangsa. Kebesaran bangsa semakin tenggelam, terkubur di tengah-tengah gegap gempita globalisasi. Terdapat kekeliruan memahami peralihan paradigma dalam proses regenerasi bangsa yang telah membuat pemuda menjadi kehilangan peran dan kekuatan progresifnya, khususnya menjadikannya sebagai subjek dan pelaku, ketimbang objek dari sejarah. Padahal, dukungan sejarah yang begitu heroik lewat momentum Sumpah Pemuda menjadi instrumen penggerak untuk memastikan bahwa sudah saatnya pemuda merubah paradigma masa lalunya dalam menghadapi kondisi zaman yang begitu dinamis.

Hanya saja, tidaklah cukup berharap pada kejayaan prinsip masa lalu, tanpa mengaktualisasikannya dengan baik di masa saat ini. Potensi pemuda yang begitu besar menjadi objek yang dikebiri oleh kepentingan pragmatis untuk dimobilisasi, sekedar untuk mencari keuntungan sesaat. Di lain pihak, pemuda tidak memiliki visi tentang masa depan, karakter kepemimpinan yang dapat menununtun arah dan langkahnya untuk menyesuaikan diri dengan kondisi global.

Dengan demikian, ada beberapa hal yang perlu menjadi pemikiran pemuda. Pertama, inspirasi heroik masa lalu harus menjadi pijakan dasar filosofis yang menginspirasi peran pentingnya dalam membangun bangsa; kedua, merubah paradigma tentang kondisi dan situasi zaman yang terus dinamis, dengan memandang globalisasi sebagai peluang, bukan ancaman; ketiga, dukungan pemerintah dan para stake holder untuk memberikan ruang gerak yang luas bagi pemuda untuk selalu menciptakan kreasi baru. Daya kritis dan energi positif tidak boleh dijadikan penghambat, melainkan akselerator dan dinamisator masa depan.

Pada akhirnya, ungkapan Soekarno “berikan aku sepuluh pemuda, maka akan aku guncangkan dunia”, adalah sebentuk apresiasi masa lalu, masa kini dan masa depan yang akan selalu menggema. Sejauh peran pemuda diapresiasi dengan baik, daya cipta mereka diberikan ruang gerak yang luas, menjadikan diri mereka sebagai subjek, maka sejauh itu pula pemuda akan selalu menjadi bagian penting dari sejarah kebangkitan bangsa ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun