Mohon tunggu...
Fayakhun Andriadi
Fayakhun Andriadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Fayakhun Andriadi, Ketua Partai Golkar Prov DKI Jakarta. Anggota Komisi I DPR RI 2009 - 2014 dan 2014-2019. Lahir 24 Agustus 1972. Sarjana Elektro Universitas Diponegoro, Magister Komputer Universitas Indonesia (UI) dan menyelesaikan program Doktor Ilmu Politik UI (2014) dengan disertasi Demokrasi di Era Digital. Pemilik website www.fayakhun.com. Twitter: @fayakhun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mendamba Generasi Pencipta: Refleksi Sumpah Pemuda

28 Oktober 2010   03:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:02 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Fayakhun Andriadi
(Anggota Komisi I DPR-RI/Pemerhati TIK)

"Di era globalisasi yang diakselerasi oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sebagai produk ilmu pengetahuan mengisyaratkan bahwa kemajuan tersebut hanya bisa diraih dengan penguasaan, pemanfaatan dan eksplorasi sebesar-besarnya terhadap TIK."

Tepat 82 tahun yang lalu, Kongres Pemuda II yang dihadiri oleh sejumlah perwakilan pemuda dari berbagai wilayah nusantara menggemuruhkan eksistensi kebangsaan Indonesia. Gedung Indonesische Clubgebouw yang terletak di Jalan Kramat Raya 106 menjadi saksi gempita heroik yang menjadi cikal bakal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saat itulah, untuk pertama kalinya, lagu “Indonesia Raya” diperdengarkan dan rumusan Sumpah Setia diumumkan.

Sekilas, tak ada yang unik dari peristiwa tersebut, selain kelanjutan kisah heroik anak bangsa yang sedang bergelut dalam masa revolusi. Tapi sekumpulan perwakilan yang diwakili oleh kalangan di bawah identitas yang beraneka ragam (Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond), memberi warna tersendiri, betapa sebuah pergolakan penting yang sedang berlangsung saat itu dimotori oleh pemuda dan pelajar di bawah organisasi Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI).

Pernyataan tentang tanah air, bangsa dan bahasa yang satu mengaktualisasikan tentang rumusan kebangsaan yang terdiri dari aneka ragam identitas. Rumusan tersebut bermuara pada suatu komitmen dan konsensus persatuan dan kesatuan. Bhinneka tunggal ika (berbeda-beda tapi satu) menjadi dasar filosofis yang menjelaskan bahwa keanekaragaman merupakan potensi pemersatu dan kekuatan besar dalam merespons kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya nusantara yang saat itu sedang berupaya menyusun kekuatan untuk meraih kemerdekaan.

Paradigma Modern
Era kolonial turut membentuk situasi kebangsaan yang terjajah dan tertindas. Kekuatan bangsa yang saat itu terfragmentasi berdasarkan identitas dan wilayah hanya menghasilkan perlawanan yang bersifat sporadis, tidak strategis. Akibatnya, kekuatan tersebut tidak sebanding (kalah) dengan kekuatan kolonial yang terorganisir dan lebih solid.

Politik etis yang dilakukan oleh pemerintah Belanda mempengaruhi perubahan paradigma pergerakan kebangsaan. Salah satu poin kebijakan politik etis, yakni edukasi, yang bertujuan memberikan perluasan kebijakan kolonial di bidang pendidikan dan pengajaran berbuah manis dalam merubah pola pikir pemuda untuk bergerak dan berjuang dalam lingkup kebangkitan pendidikan. Hal itulah yang melatarbelakangi dilakukannya Kongres Pemuda II, yang bertujuan membahas tentang persoalan pendidikan bagi anak bangsa.

Dimotori oleh sekumpulan pemuda yang terdidik dan terpelajar, Kongres Pemuda II menghasilkan sumpah setia terhadap eksistensi kebangsaan. Sumpah itu kemudian dikenal dengan Sumpah Pemuda yang mengisyaratkan bahwa persatuan dan kesatuan hanya bisa diraih dengan pemahaman tentang sejarah bangsa, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan untuk bangkit dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Sumpah pemuda itulah yang merubah paradigma bangsa dari bangsa yang terjajah menjadi bangsa yang bertekad meraih kemerdekaan dengan dukungan peran pemuda yang terdidik dan terpelajar.

Saat itu, para pemuda menyadari bahwa kebijakan politik etis yang mengakomodasi pentingnya pendidikan adalah respons terhadap fenomena alam modern. Kebijakan politik di era modern tidak bisa sekedar ditindaklanjuti dengan kekuatan fisik, tapi juga menyediakan fasilitas pendidikan dan pengajaran bagi bangsa-bangsa yang terjajah. Kebijakan ini juga merupakan sebentuk tanggung jawab moral (balas budi) yang menghimbau kaum kolonial untuk turut bertanggung jawab terhadap kesejahteraan kaum pribumi.

Era Globalisasi
Sumpah Pemuda menjadi momentum fenomenal yang menginisiasi kebangkitan kebangsaan yang terus menggema hingga saat ini. Terlepas dari latar belakang historis yang melingkupinya, semangat Sumpah Pemuda menunjukkan peran pemuda Indonesia sebagai motor penggerak dan agen perubahan (agen of change) dalam membentuk wajah sebuah negara. Karena itu, ada 2 (dua) poin penting yang bisa dipetik dalam situasi historis tersebut, yakni peran penting pemuda dan perubahan paradigma yang dilandasi oleh kesadaran akan pentingnya pendidikan yang terealisasi dalam penguasaan, pemanfaatan dan eksplorasi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung kemajuan bangsa.

Perubahan zaman telah merubah paradigma pergerakan kebangsaan dari perjuangan fisik menjadi perjuangan kesadaran. Kesadaran untuk maju di alam modern ditentukan oleh seberapa besar kehendak dan respons pemuda terhadap dinamika zaman. Di era globalisasi yang diakselerasi oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sebagai produk ilmu pengetahuan mengisyaratkan bahwa kemajuan tersebut hanya bisa diraih dengan penguasaan, pemanfaatan dan eksplorasi sebesar-besarnya terhadap TIK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun