Sebuah kebanggan mengetahui bahwa Indonesia disebut sebagai negara super power di bidang penanggulangan perubahan iklim. Hal ini disampaikan oleh Alok Sharma, President Designate untuk the 26th UN Climate Change Conference of the Parties (COP26) dalam pertemuan virtual dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya pada Selasa (23/3). Pertemuan ini dilakukan sebagai upaya untuk  menyukseskan acara COP26 yang akan berlangsung pada 31 Oct-12 Nov 2021 di Glasgow tersebut.
Lalu apa sebenarnya COP26 tersebut?
COP26 adalah lanjutan dari pertemuan negara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebelumnya yang fokus membahas tentang perubahan iklim. Indonesia sendiri pernah menjadi Tuan Rumah Pada 2007 dengan menyelenggarakan COP13 di Bali. Acara ini bertujuan untuk melanjutkan tujuan perjanjian paris yang sudah disepakati pada COP21, yang mana tujuan setiap negara adalah untuk bekerja sama dalam membatasi pemanasan global hingga di bawah 2 - 1,5 derajat, untuk beradaptasi dengan dampak perubahan iklim. Dengan disepakatinya perjanjian paris ini, setiap negara di seluruh belahan dunia berlomba-lomba untuk mengurangi emisi negara mereka.
Untuk Indonesia sendiri dengan luas hutan tropis yang dimiliki, sudah diakui sebagai salah satu penyumbang oksigen terbesar di dunia selain Hutan Amazon di Brasil, Hutan Hujan Kongo di Kongo, Manu Peru di Peru, Hutan Hujan di Madagaskar dan Hutan Hujan Tropis Kreon di Kolombia.
Namun bagaimana dengan negara-negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia? Menurut databoks 10 negara ini menyumbangkan lebih dari setengah emisi gas rumah kaca yang terjadi di dunia, dengan penyumbang terbesar adalah China, disusul Amerika dan Uni Eropa. Mirisnya Indonesia dan Brasil sebagai penyumbang oksigen terbesar di dunia, dimana Hutan Hujan Tropsi berada masuk ke dalam jajaran 10 besar negara penyumbang emisi gas rumah kaca.
Lantas mengapa hal ini bisa terjadi?
Menurut penulis, pengendalian pemanasan global merupakan sebuah upaya yang sudah sangat baik dimana hal ini bertujuan untuk kelangsungan hidup umat manusia kedepannya, namun hal lain yang perlu dibahas adalah bagaimana umat manusia berdamai dengan pemanasan global. Dengan jumlah penduduk dunia yang diperkirakan mencapai 10 miliar pada tahun 2050 dan terus bertambah, bisa dibayangkan seberapa luas pembukaan lahan untuk rumah yang akan dibangun? seberapa luas pembukaan lahan untuk dijadikan lahan produktif? seberapa banyak konsumsi energi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan rumah-rumah tersebut?
Selain itu, dengan setiap negara berlomba untuk menjadi negara maju (super power) yang bertujuan mensejahterakan rakyatnya atau untuk menguasai negara lain, maka pembahasan untuk mencapai taraf ideal pemanasan global sebesar 1,5 - 2 derajat akan mengalami kesulitan. Apalagi jika negara-negara adidaya tersebut tetap menyumbangkan emisi gas rumah kaca yang tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H