Diperjalanan, kami berbincang banyak terkait pengembangan kota Bandung, baik dari sisi ekonomi kreatif, arsitektur, budaya dan teknologi. Kebetulan penulis dan sahabat-sahabat berkuliah di jurusan-jurusan sains, adapula yang teknik. Sehingga, obrolan dengan beliau pun, sedikit banyak nyambung ketika berbicara ke arah pengembangan sains dan teknologi, meski secara disiplin ilmu arsitektur yang merupakan background keilmuan beliau, penulis sama sekali tidak paham. Kami berbincang terkait bagaimana seharusnya kita selaku bangsa Indonesia ini bisa maju, memajukan Indonesia. Beliau menuturkan beberapa point-point yang penting dalam membangun bangsa. Penulis juga menuturkan gagasan-gagasan penulis dalam kaitannya membangun negeri ini, serta sedikit banyak memuji langkah beliau dalam proses berpolitiknya. Beliau telah membuktikan bahwa orang yang memiliki background non-social studies mampu memimpin sebuah kota dengan sangat baik. Terbukti dengan berbagai prestasi yang telah di raih. Sehingga, hal ini membuat penulis dan sahabat-sahabat termotivasi bahwa untuk memimpin negeri ini, tidak harus kita bersekolah di jurusan-jurusan yang berbau sosial. Kita yang ber background sains pun bisa. Bahkan dengan sangat baik, fakta memperlihatkan bahwa walikota seperti Kang Emil di Bandung dan Bu Risma di Surabaya yang keduanya berbackground Teknik mampu memimpin negeri ini dengan baik.
Keasyikan mengobrol membuat penulis lupa untuk bertanya dan memberi penjelasan kepada Kang Emil terkait tujuan kami selanjutnya adalah pulang ke rumah di Majalengka dan pada saat itu, kami sudah sampai di perbatasan Bandung-Sumedang. Lagi-lagi kami dikagetkan dengan jawaban beliau, “Oh, santai we lah. Saya ikut dulu ke Majalengka. Ntar pulangnya dianterkeun ku kang Fawwaz nya?”. Wah, perjalanan akan tambah seru ini bersama kang Emil. Saya mengangguk dengan matang diiringi dengan teriakan “SIAP KANG!!!”, menandakan bahwa penulis siap mengantar beliau kembali ke Bandung lagi nantinya. Tak apa penulis sedikit lelah, kapan lagi penulis dapat bertemu beliau seperti sekarang ini. Mau diajak ke rumah penulis pula. Mantep iki, Joss Tenan, ujar sahabat-sahabatku.
Kami melanjutkan perbincangan-perbincangan intelektual kami dengan beliau. Beliau menuturkan, bahwa pemimpin itu tidak ditentukan dari apa background study nya, pemimpin pasti dilihat dari apa visi misinya, apa programnya, apa langkahnya dan apa solusinya. Sehingga siapapun bisa jadi pemimpin. Namun memang menjadi lebih baik ketika pemimpin tersebut berlatarbelakang keilmuan sains dan teknik. Karena sejarah menuturkan bahwa perkembangan zaman hingga hari ini dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi secara signifikan. Ketika sepeti itu, secara praktis dapat diartikan bahwa kunci perubahan zaman itu terletak pada para saintis dan teknokrat. Kami manggut-manggut atas pernyataan tersebut. Beliau melanjutkan, bahwa itulah pentingnya seorang saintis dan teknokrat. Ketika memang pemimpinnya buat salahsatu dari kedua background keilmuan tersebut, minimal pemimpin itu memiliki visi-visi yang berkonsentrasi dan peduli kepada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) Indonesia ini. Ketika tidak seperti itu, lebih baik, para saintis dan teknokrat saja yang menjadi pemimpinnya.
Penulis kagum dengan gagasan-gagasan beliau, ternyata, sesuatu yang penulis yakini adalah sebuah keyakinan Kang Emil pula. Terkhusus gagasan kepemimpinan IPTEK. Lebih lanjut, kami bercerita, bahwa kami adalah mahasiswa di UIN Maliki Malang, kami juga berkuliah di jurusan-jurusan MIPA dan Teknik, kami juga aktif di organisasi intra maupun ekstra kampus, beliau mengacungi jempol terkait hal tersebut. Beliau bercerita bahwa dulu, beliau juga sangat aktif di organisasi-organisasi kemahasiswaan, sehingga pengalaman kepemimpinan ketika mahasiswa mampu menjadi pelajaran penting dalam praktik kepemimpinan di dunia nyata. “Memimpin pun perlu pembiasaan, dan mumpung dulu saya masih mahasiswa, saya membiasakan memimpin pada saat itu.”, begitu katanya. Beliau akhirnya bercerita tentang gagasan kepemimpinan transformatif yang isinya tak jauh berbeda dari apa yang pernah beliau sampaikan ketika seminar mahasiswa baru di ITB yang pernah penulis saksikan melalui channel youtube, yakni kepemimpinan transformatif itu harus memiliki sekurang-kurangnya 5 nilai, diantaranya inovatif, berani ambil resiko dengan kalkulatif, problem solver, Strong Will (melakukan apa yang dikonsepkan), dan visioner. Sehingga, dalam proses kepemimpinannya bisa menghasilkan produk-produk kebijakan yang maslahat dan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Selanjutnya, kami menuturkan bahwa kami pernah mengundang Mas Ricky Elson dalam acara OSPEK Fakultas untuk memotivasi adik-adik kami. Kami bercerita kepada beliau bahwa Mas Ricky adalah orang yang luar biasa. Keyakinannya, motivasinya, kekuatannya sangat menginspirasi bagi kami selaku generasi muda bangsa ini. Kang Emil manggut-manggut mendengar cerita kami. Penulis mengusulkan, mungkin kang Emil adalah salah satu pejabat yang bisa menggandeng mas Ricky dalam suatu proyek pembangunan teknologi di Bandung. penulis mengharapkan itu. Karena penulis paham betul, hingga saat ini, tidak ada lirikan sedikitpun dari pemerintah untuk memberdayakan anak bangsa yang prestatif seperti mas Ricky. Kecuali mungkin, mas Ricky mau untuk terjun di dunia politik seperti kang Emil. Mungkin akan sama hebatnya dengan kang Emil. Selain itu, kami pun bertanya akan kesediaannya untuk mengunjungi kampus kami, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, “Wah, kalo itu nanti di agendakeun we, gampang lah, nu penting saya lagi gak ada urusan yang penting pemerintahan.”, jawabnya. Wajah kami sumringah mendengarnya. Mudah-mudahan dengan segera beliau bisa bertandang ke kampus kami di Malang sana.
Tak terasa, kami bersama kang Emil sudah sampai di gang masuk rumah penulis. Perbincangan yang menarik membuat perjalanan ini terasa singkat. Sesampainya di rumah, penulis disambut orang tua penulis dan beberapa kerabat dekat. Penulis mempersilahkan kang Emil untuk turun dari mobil, orang tua dan kerabat penulis sangat terkejut melihatnya, kang Emil sang walikota Bandung itu mengunjungi rumah penulis. Semua masih terheran-heran, namun tidak lupa untuk tetap menjamu beliau. Beliau makan dengan ditemani kami dan paman dari penulis yang sebetulnya tinggal di Bandung. Namun, paman penulis memang sedang berlibur ke rumah penulis ceritanya. Obrolan kami disitu lebih kepada guyonan-guyonan pikaseurieun. Sehingga tak terasa, rasa lelah kami hilang dengan sendirinya. Hingga pada suatu waktu, kang Emil mendapati handphonenya berdering. Beliau sedikit menjauh dari kerumunan kami dan mengobrol dengan santai. Itu istrinya, tebak penulis. Benar saja, setelah menelepon, beliau mengajak penulis untuk mengantarkan beliau pulang ke Bandung. Orang tua penulis menawari untuk bermalam, namun kang Emil menolaknya secara halus, beliau harus bekerja untuk Bandung lagi esok hari. Sahabat dari penulis kemudian mengusulkan untuk berfoto bersama terlebih dahulu. Wah, betul juga, gumam penulis. Kami berfoto bersama, kemudian sahabat-sahabat bergantian meminta waktu untuk selfie bersama beliau. Penulis pun tak mau ketinggalan, Cekrek cekrek cekrek.
Mobil sudah penulis hidupkan kembali, kang Emil sudah mulai pamitan kepada orang-orang di rumah penulis. Tiba-tiba handphone penulis berdering, lagu “Pusing Pala Barbie” pun berdendang dengan kencang. “Ko nada deringnya ganti ya? Lagu ini kan untuk alarm”. Gumam penulis. Penulis mencoba mengabaikan perasaan itu dan mencoba untuk mengangkan teleponnya. Namun, teleponnya tak bisa di angkat, penulis tekan tombolnya berkali-kali, tetap saja tidak bisa. Tiba-tiba saja, penulis berpikir, apa ini memang alarm? Atau ini mimpi? Penulis mencoba melihat sekeliling, tidak ada siapa-siapa. Kagetlah penulis dan akhirnya terbangun dari tidur yang panjang. Ternyata handphone penulis memang berdering dan memang alarm lah yang berbunyi. Waktu sudah menunjukkan pukul 05.00 pagi. Penulis duduk dengan perasaan yang bertanya-tanya, ternyata tadi hanya sebuah mimpi, sayang sekali. Gara-gara sebelum tidur, penulis sempat menonton video kang Emil ketika mengisi seminar, jadi kebawa mimpi. Yah, meskipun hanya mimpi, ini adalah sebuah mimpi yang berkualitas, mimpi yang menginspirasi, mimpi yang mentransformasi dan mimpi yang sangat luar biasa. Memang mimpi tak seburuk realita, namun terkadang, mimpi bisa lebih buruk dari realita. Semoga semua yang terwacanakan dalam mimpi mampu terealisasi di dunia nyata. Punten ke kang Emil yang sudah penulis tarik ke dalam mimpi penulis. :-D Salam Transformasi!
"Dimanapun kita berada, jadilah bagian dari solusi"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H