Secangkir rindu yang kukirim senja lalu tak tersentuh olehmu. Begitu juga dengan bungkusan-bungkusan kerendahan hatiku, tak sedikit pun kau jamah. Dulu, hingga beberapa waktu yang lalu aku mungkin tak pernah jera. Terus menerormu dengan sisa-sisa cinta yang kucoba untuk bangun kembali di tebing-tebing hati. Berharap, mampu sejukan hatimu yang mungkin kering. Ya, mungkin. Karena nyatanya aku tak tahu pasti.
Seutas benang masih terus kucoba untuk ulurkan padamu, berharap mampu menarikmu. Tapi kau bergeming. Hingga akhirnya, benang itu rapuh dengan sendirinya. Oleh gelora panas cintaku dan kebekuan hatimu.
Kini aku ragu untuk melangkahkan kakiku. Haruskah kumaju atau berdiam di tempatku, membiarkanmu berlalu.
Waktu. Ya, kadang aku berfikir bahwa waktulah yang mungkin akan membantuku. Berada dipihakku. Waktu telah membantuku bangkit dari keterpurukan di masa itu. Pun, waktu telah memberitahuku bahwa aku cukup berharga untuk dimiliki. Waktu jugalah yang bercerita padaku, bahwa hal-hal di depan sana jauh lebih berarti untuk ditata dibanding terus berangan tentang hal yang telah lalu.
Mungkin waktu yang akan memberitahumu tentangku. Dan semoga saat waktu itu tiba, rasaku belum berlalu.
.
15 September 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H