Tidak semua hal yang tersirat mampu tersurat dengan baik. Dengan gamblang. Kadang, frasa-frasa hanya akan membatasi bentang rasa yang sesungguhnya. Lalu hadirkan keliru.
Kucuri dengar kamu merutuki diri,”Tak seharusnya bicara begitu!” Entah karena malu, entah ragu.
Aku percaya tak pernah ada yang sia-sia. Pun tentang frasa-frasa yang pernah kamu lisankan. Kamu tahu, mesti tak sesempurna mewakili rasamu, diam-diam aku menjumputi frasa-frasa itu. Kusimpan rapat dalam kotak rahasia yang tak pernah kubuka sekian lama.
Menaruhnya perlahan dan berkata,“Aku tahu.” Kamu tak berkata lagi, aku sendiri membisu. Senyap, lama sekali. Hanya terdengar nafas yang terburu-buru.
“Jadi?”
Aku tak mendengar kamu berkata, menjawab, berpendapat atau apapun. Entah karena memang kamu tak berkata, atau pendengaranku mulai terganggu oleh detak jantungku sendiri.
Aku memaksa memalingkan pandanganku, memaksa tengkuk yang mulai kaku karena menunduk melulu. Mencari jawabanmu.
Kamu tersenyum, aku pun mengangguk. Kupikir, kita memang tak butuhkan frasa-frasa, karena kilat mata sudah mampu mengungkap semua.
Tawa kita berderai, menertawai segala kebimbangan rasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H