"Ah sudahlah, menyesali segala peristiwa yang terjadi belum tentu mampu mengembalikan Ibuku, lebih baik aku segera mandi karena malam ini calon suamiku akan datang. Yah membicarakan pernikahan kami yang tinggal seminggu lagi!" |sebelumnya|
Sambil menunggu kedatangan Arman, aku bergabung dengan beberapa keluarga yang sudah nampak repot dengan acara pernikahanku. Meski ingin sekali membantu, namun mereka tak memperboehkan. Yah dalam aturan di tempatku, entah ditempat lain. Seorang mempelai tak diperbolehkan membantu sedikit saja tentang remeh temeh pernikahan. Entahlah, aturan itu datang dari mana.
Tak seberapa lama Arman datang dan ikut bergabung. "Dek, bisa kita bicara di luar?" ajak Arman "Ayo!"
Kami duduk di teras belakang, di bawah pohon belimbing. Langit nampak cerah dan bertabur bintang malam ini. Aku bahagia, bahagia sekali. Meski ada sesuatu yang mangganjal dan nampak kurang. "Dek, sudahkah kau hubungi Ibu lagi? Masa nanti beliau tak datang ke pernikahan kita?" "Sudah Mas, sudah beberapa kali kuhubungi. Bahkan beberapa hari lalu aku menemuinya." "Lalu. apa yang dia katakan?" "Dia berjanji untuk datang Mas, tapi aku meragukannya!" "Kenapa? Bukahkah itu bagus dek?" "Karena saat pernikahan kakakku lalu, dia pun juga bilang akan datang. Tapi nyatanya apa? Dia tak datang, bahkan menitip salam pun tidak. Aku sakit hati sekali waktu itu Mas!" "Sudahlah dek, berfikir positif saja. Pasti ibu akan datang." "Mudah-mudahan ya Mas!"
Saat berada dalam pelukan Arman, aku sangat merasa nyaman. Damai. Tak ingin lepas. Aku mencintainya. Tapi kadang aku merasa lucu dengan keadaanku sekarang. Dulu aku pernah bicara pada salah seorang sahabatku. Aku tak ingin menikah. Itu dulu. Saat Ayahku baru saja meninggal dan Ibu menjadi berantakan karenanya.
Saat Ayahku meninggal, aku merasa sangat sedih melihat Ibu. Ia nampak terpukul dengan kepergian Ayah. Setiap hari dia menangis, meratapi kesepiannya. Aku tidak ingin menikah karena aku tak ingin kesepian dan sedih seperti saat Ibu ditinggal Ayah. Dan menjadi pengacau anak-anakku seperti Ibu mengacaukan hidupku.
Sebesar apa pun cinta seseorang, pasti suatu saat nanti akan terpisah, entah oleh takdir yang dipaksakan ataukan karena suratan tangan Tuhan berupa kematian. Tapi segala pemikiranku luruh saat aku bertemu Arman. Dia menyakinkanku untuk mengambil hikmah dari segala apa yang aku alami. Meski kata-katanya tak jauh beda seperti yang dikatakan sahabatku, tapi kata-kata Arman lebih merasuk dalam alam bawah sadarku.
Aku mampu mandiri sekarang, tak harus berteriak ini itu meminta bantuan saat aku butuhkan sesuatu. Aku lebih mampu bersyukur dari pada dulu yang sering kali mengeluh. Aku lebih dekat dengan Tuhanku, karena Dia satu-satunya yang mau mendengar rintih pilu hatiku. Aku lebih nampak bijaksana karena harus menjadi Ayah sekaligus Ibu dari Adikku. Tuhan memang tak pernah salah.
Sebenarnya, aku tak mengingikan resepsi pernikahanku diadakan meriah. Namun Kakak serta saudara-saudaraku terus memaksa dan mempersiapkan semuanya. Keluarga calon suamiku juga sangat bayak berperan dalam hal ini. Tak ada alasan untuk tak berucap syukur. Mereka -keluarga calon suamiku- mau menerimaku yang notabennya dicap banyak orang sebagai anak durhaka. Aku sangat bersyukur.
Malam menjelang pernikahanku, aku tak bisa tidur. Beribu slide kisah-kisahku menghujani ingatanku. Aku tak percaya dan aku bagai mimpi jika mengingat besok aku akan manikah. Dengan orang yang aku cintai. Tapi satu perasaan masih berkurang di sini. Yah di dadaku. Ibuku, kenapa dia juga belum datang untuk menemuiku. Lupakah Ia?
Aku mencoba memejamkan mata karena tak mau saat acara berlangsung wajahku nampak pucat karena kurang tidur. Kuterus tenangkan pikiranku. Kusepikan ingatanku yang tak menentu. Hening. Lirih kudengar namaku di panggil.