Dunia indah bagi mereka yang merasa indah Dunia bagai neraka bagiku yang teraniaya olehnya Dunia penuh kata runcing yang mampu mengoyak relung Dunia begitu harum oleh busa-busa puisi dan prosa Dunia… Ku tak berharap bisa lama berada di dunia Tok…tok…tok… Kutak ingin bicara dan tak ingin mendengar, biarkan aku bergulat dengan pikiranku yang gamang. Tok…tok…tok… Kembali pintu diketuk, dan itu sangat menggangguku. Kumencoba berdiri, melangkahkan kaki yang enggan digerakkan. Kumenuju pintu, kupegang gagangnya dan kuulir anak kunci itu, yah aku menguncinya. Karena aku tak ingin melihat wajahnya. Wajah orang yang seharusnya kuhormati, kutaruh surga di telapak kakinya dan kucium aroma taman bunga dari hembusan nafasnya. Semenjak peristiwa itu, aku menjadi sangat membencinya, melebihi benciku pada Ayah ketika tercium bau bir di mulutnya, melebihi benciku pada Ayah yang menghabiskan uang di meja judinya. Aku benci dia melebihi apa pun yang membuatku benci. Dan benciku tiba-tiba menghapus segala kerinduan yang tertanam lama semenjak kepergiannya. Tuhan… aku tak ingin menjadi anak durhaka, tapi aku juga tak bisa menerima semua ini begitu saja! Tok…tok…tok… Semakin keras pintu diketuk, semakin besar amarah yang tersimpan di dadaku! "Sayang, makan dulu yuk! Bunda masak ayam rica-rica kesukaanmu" "Jangankan ayam rica-rica, kausuguhkan pizza pun kutak akan menyentuhnya," hatiku makin panas. "Sayang, kausudah dewasa, kita bisa bicara, Bunda akan menjelaskan semua!" "Aku tak ingin bicara dan aku tak ingin mendengar apapun!!" kataku lirih. "Cobalah mengerti Bunda!" "Lalu siapa yang akan mengertiku??? katakan!!! siapa yang akan mencoba mengertiku??" teriakku yang sudah tak mampu menahan amarah. "Baiklah, ayoo nak, kita bicara supaya bisa saling mengerti!" "Pergiii!!!!" "Ayolah Latifa…" "Kubilang pergÃ!! dan tinggalkan ayam rica-rica itu di depan pintu!" tak bisa kupungkiri jika aku memang lapar. Beberapa saat kemudian kubuka pintu untuk menjemput ayam rica-rica yang telah memanggilku sedari tadi. "Ambil dan makanlah yang banyak ya, habis itu kita bicara!" Oh Tuhan, ternyata dia masih ada disini, berdiri tepat di hidungku saat kubuka pintu, dan ada sedikit senyum yang dipaksakan di sana. Duuh…. hancur rasanya hatiku melihatnya, ingin aku merengkuhnya dan memeluk hangat tubuhnya. Tubuh yang telah lama kurindukan, tubuh yang telah lama meninggalkanku dengan sejuta kenangan. Tapi itu tak akan kulakukan, tak akan. Kusantap makananku dengan nikmat, sembari mengingat kenangan yang terlewat. Dulu, jika tak ada hari spesial kutak akan makan makanan ini, jikapun ada hari spesial namun bunda tak punya uang, makanan inipun juga mustahil kurasakan. Praaaaangg……….. "Pergiii….!!!!! Kubilang jangan pernah dekati anakku lagi!" "Memang kaubisa memberikan apa untuknya? Apa yang telah kauperbuat untuk perkembangannya?" "Banyak hal yang telah kulakukan! Aku yang membesarkannya!" "Hah?? membesarkannya?? jangan ngigau!! mana mungkin kaumampu membesarkannya tanpa uangku??" "Apa kaumerasa berwenang atasnya karena uangmu itu?" "Aku berwenang karena aku ibunya!" "Aku Ayahnya!!" "Tapi kautak mampu memberikannya apa-apa! Dia semakin dewasa dan semakin banyak kebutuhannya! Apa kaumampu mencukupinya dengan pekerjaanmu sebagai penjudi?" "Diam kau!!" Plaaaakk……….. Oh Tuhan…… Adakah tempat yang lebih menyakitkan selain di rumahku sendiri? Jika itu ada, izinkan aku ke sana, agar kurasakan kepedihan yang lebih dalam sehingga ku ak rasakan kepedihan lagi jika kupulang! Sumber gambar KLIK!! Namaku Latifa!! Latifa 1 Latifa 2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H