Sudahlah, kubilang sudah!
Bosan rasanya aku berkata pergilah. Kamu selalu bergeming dengan senyum tersungging. Sedang perutku mulas bukan main.
Berbicara serasa percuma, diam juga tak ada gunanya. Kamu selalu datang tanpa pernah kusambut ramah. Aku tak mengerti, apa yang membuatmu sebebal ini.
“Kaupikir aku akan menyerah? Aku adalah kesatria yang tak pernah kalah!” katamu pongah.
Aku nyaris saja meledak jika tak pandai-pandai memarkir hati. Tak apa terserak, asal tak kaukuntiti saja, aku sudah merasa senang, menang. Tapi selalu saja begini, kamu tak membiarkan aku bergerak tanpa ujung benang bersimpul di jempol kaki. Sedikit saja getaran, sudah mampu mengisyaratkan bahwa aku ingin pergi, berlari. Jauh darimu.
Lalu suaramu melolong, membuat sakit telingaku, dadaku. Dan aku akan kembali meringkuk. Pilu. Tak ada yang peduli.
Aku merapal mantra-mantra, berharap kamu sirna. Tanpa bekas. Tanpa jejak. Tapi entah apa yang membuatmu begitu bertuah. Tak pernah goyah. Mendesak. Menerkam. Menikam. Menyakiti aku, tapi tak pernah mau membuatku mati.
Sudahlah, sudah! Aku benar-benar tak mau lagi. Hingga akhirnya, aku mulai pasrah. Membiarkanmu meresap lewat pori-pori, berbaur dengan darah lalu menjalari hati. Seperti amoeba, tubuhmu terbelah dua, terbelah dua lagi, lalu lagi dan lagi. Banyak sekali. Tak terhitung, tak terhingga. Hingga hati dan darahku tak lagi berwarna merah, tak juga jingga.
“Sudah kubilang, aku adalah kesatria yang tak pernah kalah!” katamu dengan senyum mengembang.
”Silahkan bersuka cita, rindu!” kataku sambil tersenyum, sinis sekali. Dan setelah itu, diam-diam, tanpa sepengetahuanmu, aku bersepakat dengan waktu. Berikrar, bahwa aku belum kalah. Aku akan membalasmu nanti. Dan itu pasti!
.
sumber gambar: solorayaonline.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H