Aku tak mengerti, kenapa kita berada di sini. Melakukan pertemuan ini. Sedang tak sepotong pun kata saling kita tukar. Aku mencuri pandang ke arahmu beberapa kali di sela-sela menghirup kopi. Kamu menatapku, lekat-lekat. Aku salah tingkah. Detik berikutnya aku kembali menenggelamkan pandanganku pada campuran espresso dan susu, yang tak kalah lekat dari tatapanmu.
Beberapa waktu lalu, aku sering menyulam kata-kata, banyak sekali. Sulaman kata-kata itu akan kuberikan kepadamu jika kita bertemu, begitu pikirku. Tapi nyatanya, saat pertemuan itu nyata terjadi, sulaman kata-kataku terkoyak, entah oleh apa. Hilang tak berbekas.
“Kamu tak banyak berubah,” katamu dengan nada rendah, nyaris berbisik.
Ah, kukira kamu salah. Kamu tak tahu betapa waktu sudah membuatku banyak berubah. Dia mengajariku banyak hal. Tentang rasa, rindu, keteguhan, bersabar, ikhlas dan menunggu.
“Aku kangen,” katamu lagi, kali ini lebih jelas, tegas.
Aku menaruh cangkir kopiku di atas meja. Melepaskannya perlahan dari tangkupan kedua tapak tanganku. Lalu, aku memandangmu. Tepat ke manik matamu.
“Apa yang membuatmu kangen?” kataku, menahan lompatan kata yang tiba-tiba menyeruak penuh dalam dadaku, otakku.
“Semua tentangmu. Ocehanmu,...”
“Kamu bisa mengikuti ocehanku via twitter jika kamu mau.”
“Sudah.”
“Sudah?”
“Aku membuat akun twitter hanya untuk mengikuti ocehanmu,” katamu sambil tersenyum. Senyum yang sama sejak terakhir kita bertemu. Beberapa tahun lalu. Lalu kamu mengambil cangkir kopi di depanmu. Menghirupnya, menyeruputnya dua kali.
“Oh ya?”
“Ya, dan bahkan aku bookmark profile twittermu. Membukanya setiap hari, lebih dari sekali dalam sehari.”
“Dan tapi, kamu tak pernah menyapaku?”
Kamu terdiam, aku sendiri tak ingin terlalu banyak tahu. Suasana kembali tersihir sepi, lama sekali.
“Kamu tak banyak berubah.” Kamu mengulangnya, kini tak lagi dengan nada rendah.
“Kamu hanya tidak tahu.”
“Kupikir, aku belum lupa bagaimana membacamu,” katamu yakin sekali. Kamu mencondongkan tubuh ke depan, lalu menopang dagu di atas meja. Sedang tubuhku terasa kaku, nafasku mulai tersengal-sengal.
“Dengar, aku kangen.” Tatapanmu mengoyak pertahananku. Aku nyaris rubuh.
Buru-buru aku menyambar kopiku, kopi yang tak lagi sepanas tadi, menyeruputnya beberapa kali. Berharap, ada tumpukan kekuatan di sana.
“Jadi, jauh-jauh datang kesini, menemuiku untuk bilang itu. Kangen?”
“Bukankan itu yang sering kulakukan?”
“Ya, dulu.” Kurasai aliran darahku menghangat.
“Sebelum tiba-tiba kamu menghilang, pergi, tanpa meninggalkan pesan, tanpa berkabar. Lalu membiarkanku menunggu seperti orang gila,” lanjutku.
“Tapi aku kembali.”
“Kembali, setelah aku menyadari bahwa menunggumu adalah kesia-siaan.” Rasanya, tumpukan kekecewaanku, kemarahanku, mendesak-desak untuk meledak.
Aku membuang pandanganku ke luar warung kopi yang tak bersekat tinggi. Memandang langit yang tertutup kabut tebal. Menyerap dinginnya, meluruhkannya ke dalam aliran darahku yang mendidih.
“Kamu tak mengharapku lagi?” ada getaran tertahan dalam suaramu.
“Kurasa, semesta pun tahu kalau aku sangat mengharapkanmu. Bahkan sampai saat ini.”
“…….” Kamu terdiam, menunggu kalimatku.
“Hanya saja, itu terjadi ketika aku sedang mendramai diriku sendiri, saat aku marasa tak dipedulikan oleh seseorang yang bahkan lebih kuharapkan darimu.” Kalimatku terdengar gamang di telingaku sendiri.
“Kenapa tak kembali saja padaku?”
“Untuk apa? Untuk kamu tinggal lagi?”
“Aku janji….”
“Sudahlah, kita bertemu bukan untuk kembali.” Aku meringkasi diri, berdiri.
“Ini terakhir?”
“Tentu saja tidak! Kamu harus datang.”
Aku beranjak, meninggalkanmu yang mematung. Membeku dengan selembar undangan pernikahan di tanganmu. Undangan pernikahanku yang berwarna merah maroon.
Hutan Pinus, 4 Maret 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H