Mohon tunggu...
Fawaizzah Watie
Fawaizzah Watie Mohon Tunggu... wiraswasta -

Perempuan. Duapuluhan. \r\n\r\n\r\nhttp://fawaizzah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Expedisi Canting Menelusuri Pantai Selatan di Gunung Kidul

11 Mei 2011   05:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:51 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah gak, ketika kamu sedang mempunyai banyak masalah dalam hidupmu, lalu kamu menengadahkan tangan seusai sholatmu, kepada Tuhanmu, ingin menumpahkan apa yang ada di hatimu. Bermaksud memohon banyak doa agar benang kusut yang ada di pikiran dan hatimu segera terurai. Tapi kamu justru diam saja, bingung mau berkata apa, bingung mau berdoa apa, bahkan tak tahu apa yang ingin kamu adukan. Kamu hanya bisa mengitung jemari yang jelas-jelas berjumlah 10. Lalu tiba-tiba kamu menutup doamu dengan,”Ya Rabb, aku tahu Engkau tahu apa yang sedang ada di hati dan pikiranku. Kumohon, Engkau berikan aku jalan yang terbaik. Amin.” Pernah gak kamu seperti itu?

Saya pernah mengalami hal seperti itu, bahkan sering. Dan ini sama halnya ketika saya ingin menulis. Ketika saya baru saja mengalami atau menemukan atau melakukan atau melihat suatu hal yang luar biasa dalam hidup saya, ingin sekali saya menuliskannya. Mengabadikan lewat tulisan. Tapi, justru otak saya serasa terhenti. Sama sekali tak tahu apa yang seharusnya saya tulis. Bingung bagaimana harus memulai, padahal banyak kata-kata yang berloncatan di otak saya. Tapi otak saya terasa mati untuk menyusun kata-kata itu menjadi kalimat bermakna. Sebuah kalimat yang mampu menggambarkan apa yang saya rasakan. Ya semacam itu.

Dan kali ini, saya mencoba menuliskan ingatan saya tentang sebuah perjalanan yang menyenangkan. Yang sangat luar biasa. Yang pertama dalam hidup saya. Yang membuat saya hanya mampu berujar “Subhanallah….”

22 – 23 April 2011. Hari Jum’at pagi saya meluncur ke kota seribu warna, ya Jogja, bersama kawan baru saya, KA. Madiun Jaya. Pukul 9 pagi saya sampai ke stasiun Tugu. Sambil menunggu seorang kawan (Aziz Ngashim) menjemput saya, saya jalan-jalan di seputaran Malioboro. Lalu saya berhenti di angkringan untuk membeli sarapan. Di tempat itu, saya bertemu lalu berkenalan dengan seseorang yang bernama…. ah saya lupa, tapi saya masih ingat betul bagaimana wajahnya.

Dia, pria itu mirip sekali dengan Briptu Norman tapi rambutnya panjang sepinggang seperti rambut Om Syam, petani dari Cijapun sana. Obrolan kami langsung mencair begitu dia mengetahui bahwa saya berasal dari Magetan. Ya, dia pernah tinggal di Magetan kurang lebih 7 tahun. Dan itu bukan waktu yang sebentar. Bahkan dia tahu betul tempat-tempat di seputaran Magetan yang bahkan saya belum menginjakkan kaki saya ke tempat itu. Luar biasa.

Sebuah telpon dari Ngashim mengakhiri obrolan saya dengan pria ini. Segera kami meluncur ke rumah Mas Aziz Safa untuk menunggu kawan yang lain. Oh iya, sudah ada Mba Rina dari Surabaya yang menunggu di sana.

Sekitar pukul 1 siang, tepatnya seusai waktu sholat Jum’at, kami meluncur menuju ring road. Tempat dimana kami janjian untuk berkumpul. Saya (masih) dibonceng Ngashim dan Mba Rina yang dibonceng oleh Mas Hendra Arkan. Hujan gerimis menemani kami, dan diperjalanan, kami bertemu Pace aka Agung Poku aka Paman Dori di emperan toko. Sedang menunggu Ika Maria, katanya.

Begitu Ika Maria datang (dengan ransel segeda gaban sambil membawa gitar di tangannya) kami segera berangkat dengan menembus gerimis. Berjalan dengan (sedikit) ngebut dengan alasan agar tak kemalaman saat sampai Seruni. Mesti terjadi insiden yang membuat saya njekitet dan merem di perjalanan (nyaris tubrukan dengan pengendara lain) tapi Ngashim tak mengurangi kecepatannya.

Di depan, entah di jalan apa kami bertemu dengan Mas Yuladi Yula. Dia berhenti, masih menunggu Mba Lutfi, katanya. Setelah semua berkumpul, kami berdelapan berjalan beriringan. Menerobos gerimis, naik turun bukit, jalanan yang berkelok, jalanan dengan samping kanan kiri jurang, mencoba mengalahkan keangkeran Gunung Kidul menuju Pantai Sundak. Ya kita akan melakukan perjalanan ke pantai sodara-sodara!!

Kurang lebih jam 3 sore, kami sampai di Pantai Sundak. Pantai pertama dari sebuah perjalanan untuk menelusuri pantai. Setelah mengisi perut dengan semangkuk (porsi kecil) soto, kami berangkat.

Semua membawa ransel di punggung mereka, kecuali saya. Ya saya meninggalkan ransel yang saya siapkan di rumah Mas Aziz Safa atas perintah sesat Aziz Ngashim.

“Ngapain kalian bawa ransel gede-gede seperti itu? Kalian tahu, perjalanannya saja nanti jauh, kalau nanti kalian bawa tas yang berat semakin cepat lelah kalian.” Begitu ucapnya kepada saya dan Mba Rina.

“Mending, kebutuhan kalian, kalian jadiin satu dalam satu ransel. Gak usah bawa baju ganti segala, wong cuma nginep semalam, paling kalian tidur dengan baju yang sama.” Begitu lanjutnya.

Karena kami minim pengalaman perjalanan semacam ini, maka kami menuruti saja perintahnya. Meninggalkan pakaian ganti kami di ransel saya, dan menaruh keperluan-keperluan yang lebih dibutuhkan, seperti makanan, mukena, mantel hujan, kain pantai, pasta dan sikat gigi. Ransel saya di tinggal di rumah Mas Aziz Safa beserta istri dan mba rina membawa ranselnya. Saya? Hanya membawa camilan yang ditaruh di tas kresek berlogo *lf*M*rt.

“Zah, itu yang kamu bawa gak berat kan? Gimana kalo tukeran sama yang saya bawa?” tanya Mas Arkan Hendra. Saya langsung menerima tawaran Mas Hendra, membawa tas yang lebih layak, lalu saya canglongkan layaknya tas ransel. Nah, sekarang saya sudah tak jauh beda dengan kawan yang lain.

Saat pertama saya menginjakkan kaki saya di hamparan pasir putih dengan air laut yang bening, saya merasa seperti mimpi. Ya saya seperti mimpi sehingga hanya mampu berdecak dan mengucap Subhanallah…

Berjalan di tepi pantai, di atas hamparan pasir putih itu ternyata tak semudah yang saya bayangkan. Berat. Ya berat, dimana setiap langkah saya akan terbenam di pasir sedalam mata kaki. Dimana, butiran-butiran pasir putih itu akan menyebabkan iritasi semacam goresan-gorean halus di kaki kita jika mereka bergesekan dengan sandal (alas kaki) yang kita pakai.

Menelusuri Pantai di hamparan pasir

Tapi bukan hidup jika tak ada pilihan. Kita bisa berjalan menelusuri karang pantai, menginjakkan dan melangkahkan kaki kita melewati karang lebih terasa ringan. Tapi bukan hidup jika setiap pilihan yang kita pilih tak ada resikonya. Ya, melewati karang pantai memang lebih ringan dalam kita melangkah. Tapi jika tak waspada dan hati-hati, kaki kita bisa terperosok di antara karang yang nyatanya, airnya rumayan dalam. Atau adanya bahaya ombak laut selatan yang sulit diprediksi.

Melewati karang di tepian pantai

Adakalanya kita harus melewati hamparan pasir putih yang masih nampak perjaka, adakalanya kita harus melewati karang di tepian pantai, adakalanya kita harus memanjat karang yang tajam dan licin, dan adakalanya juga kita harus menerobos lubang diantara karang. Yang dinding-dindingnya tajam. Demi mencapai tempat tujuan. Ya Pantai Seruni.

Mendaki Karang

Pada awalnya, saat sebuah tawaran mengahampiri saya, saya ragu saat akan menyetujui tawaran itu. Saya takut, saya tak mampu dan justru menyusahkan kawan-kawan saya. Tapi di sisi lain, saya sangat ingin mengikuti perjalanan ini. Pantai, karang, deburan ombak. Tiga hal yang sangat saya inginkan entah sejak kapan.

Tapi keraguan saya langsung sirna saat saya sudah berdiri di tepi pantai, berjalan menelusurinya. Rasa lelah, rasa perih, rasa takut hilang seketika. Saya bahkan tidak merasakan lelah sedikit pun dalam perjalanan itu.

Pukul 5 sore, Alhamdulillah, kita sampai di Pantai Seruni. Sebuah Pantai yang sangat menawan. Hamparan pasir putih yang bertabut pasir hitam yang nampak gemerlapan, karang yang kokoh, ombak yang tak lelah berhenti. Sungguh, pantai yang sempurna. pantai yang luar biasa. Dan lagi-lagi saya hanya mampu berujar Subhanallah….

Bukankah ini adalah tempat yang indah? Subhanallah...

Bersambung.....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun